Sudah lebih dari 15 menit, Zamzam masih saja menatap menantu lelakinya dengan tatapan tertajamnya. Kayla sudah memberinya peringatan, tetapi pria paruh baya itu seakan tak mempan dengan ancaman istrinya.
Bila ancaman sang istri pun tak ada guna, apalagi mereka yang memang tak pernah ditakuti oleh pria yang sebentar lagi akan menjadi kakek ini, yang hanya bisa diam tanpa berniat mencairkan suasana.
Sedang Radhi, daripada cemas dengan intimidasi mertuanya, dia lebih khawatir akan kondisi Maira saat ini. Meski sudah berkali-kali dokter mengatakan jika mereka sangat baik-baik saja, emang dasar sifat Radhi yang dari awal itu super posesive banget dengan istrinya, jangan harap dia akan langsung merasa tenang begitu saja.
Tiga jam yang lalu saat Maira akan menghampirinya, entah kenapa kaki wanita itu malah tersandung, jika saja Radhi tak sigap kala itu, dia takkan pernah bisa membayangkan bagaimana jadinya jika saja tubuh Maira terjatuh ke lantai yang sangat keras.
Oh, God! Jika saja Maira masih bersikap seperti tadi, lalu bagaimana wanita itu menjalani kehidupannya selama mereka tak bersama? Apa setiap hari Maira mengalami peristiwa nyaris celaka seperti tiga jam yang lalu? Radhi mengusap wajahnya frustasi saat kepalanya dipenuhi rasa cemas pada istrinya.
“Sejak kapan kamu berada di sini?” Pertanyaan Zamzam menjadi pembicaraan pertama setelah mereka memilih bungkam.
Radhi seketika menatap Zamzam, dan baru dia sadari jika tatapan ayah mertuanya itu begitu tak mengenakan. Andai itu bukan Radhi, sudah pasti dia akan ketar-ketir saking takutnya. “Dua hari yang lalu, Pi,” jawabnya tenang juga sopan.
Zamzam melotot. “Mau ngapain kamu ke sini?”
“Pi!” Kayla mencubit pinggang suaminya. Dia yakin jika suaminya ini akan kembali mengibarkan bendera perangnya.
“Tentu saja menemui istriku. Aku harap Papi gak lupa jika aku adalah seorang suami dan Papi pasti mengerti juga karena Papi juga masih seorang suami.”
“Huh, suami macam ap--- Awww! Mami kenapa sih terus-terusanterus-terusa?” Zamzam menatap garang ke arah Kayla.
“Aku akui, Pi. Rasanya gak punya malu jika aku meminta maaf pada istriku melihat bagaimana sikap brengsekku saat itu. Tapi tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain meminta maaf, bahkan aku akan lebih tak tahu malu karena aku akan selalu meminta maaf dan menginginkan Maira di sisiku.”
“Nak Radhi gak perlu berbicara seperti itu, bagaimanapun keadaannya, pada hakikatnya, sekaranag yang lebih berhak atas diri Maira adalah kamu—karena kamu adalah suaminya. Mami justru minta maaf jika Papi terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga kalian berdua.”
“Mami!” Zamzam menggeram karena ucapan istrinya. Boleh saja wanita itu berbicara seperti barusan, karena dia tak menyaksikan dengan kepalanya sendiri bagaimana menantu borokokok-nya itu memperlakukan putrinya dengan begitu kasar.
Kayla menatap dalam mata suaminya. “Mami tahu, Pi. Bahkan meski Mami tak melihat kejadian waktu itu, Mami sudah merasakan bagaimana sakitnya hati Mami saat mendengarnya. Meski Mami memang selalu memarahi Maira, berantem dengannya, bahkan tak jarang Mami juga suka membuatnya menangis, tapi tetap saja, saat tahu Maira dilukai orang lain, Mami merasakan sakit. Kita tahu bagaimana sikap seorang ibu, meski dirinya selalu memarahi anaknya, tapi ketika anaknya dimarahi walau hanya oleh suaminya yang menjadi ayahnya sendiri, tetap saja dia takkan pernah menerimanya, apalagi oleh orang lain.”
Kepala Radhi semakin menunduk, jika dibandingkan dengan perkataan sarkas ayah mertuanya, justru ucapan ibu mertuanya lah yang paling menohok jantungnya. Dia tak membenci ibu mertuanya, tapi lebih kepada membenci dirinya sendiri yang begitu naif dan merasa sangat malu karena menjadi suami paling buruk di dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Killer-ku (On Going)
General Fiction--Saat cinta diperkuat dengan ikatan pernikahan.-- "Bang!" "Ya." "Kenapa Abang lamar Mai?" "Ingin." "Apakah ... Abang selama ini jatuh cinta ya pada Mai?" "Jangan sembarangan!" Gadis itu mencebikkan bibirnya, 'Kalau gak cinta, ngapain ngelamar, kan...