1 tahun yang lalu.
Maira, si gadis berparas cantik yang masih berusia 19 tahun, sedang melakukan aksi ngambek dengan mengabaikan seluruh keluarga besarnya. Mulutnya dibikin sariawan, dengan mengabaikan sapaan, pertanyaan, juga panggilan dari semua orang yang berada di rumahnya.
Saat ini Maira sedang berdiam di kamarnya, sedangkan seluruh anggota keluarganya tengah berkumpul di bawah, karena besok adiknya, Randy, akan pergi jauh untuk melanjutkan study-nya ke Negri Paman Syam.
'Tok-tok-tok'
"Maira, Papi masuk, ya." Tak ada sahutan, Maira sudah bertekad untuk tidak berbicara pada semua anggota keluarganya.
Kekanakan memang! Padahal dirinya sudah berusia 19 tahun, sudah masuk Universitas malah. Tapi apa pedulinya sekarang? Toh mereka juga tak peduli dengannya, kan?
Pintu terbuka, dan muncullah sosok orang yang menjadi salah satu alasan hadirnya di dunia ini. Zamzam, Ayahnya. Terlihat sang ayah berjalan ke arahnya. Maira mencoba tetap bergeming, terus membaca buku yang saat ini sedang digenggamnya.
"Mai, semua orang sedang menunggumu di bawah, mereka sampai saat ini belum makan lho karena nungguin kamu."
Khumaira Queensha Zahra, nama lengkap gadis yang sedang mogok bicara itu mendengus sangat pelan, takut kalau dengusannya didengar sang ayah. Bagaimanapun mendengus di hadapan orangtua itu perbuatan tidak terpuji.
"Kamu ini kenapa, sih? Bukannya kangen-kangenan sama si adek, yang besok udah berangkat untuk mencari ilmu, kamu malah bersikap cuek begini, puasa bicara lagi."
"Huh, pura-pura gak tahu aja!" sungut Maira dalam hati, masih tetap dengan kebisuannya, ingin sekali menjawab perkataan ayahnya yang saat ini menurutnya pilih kasih itu.
Sudah dua hari Maira ngambek pasca perdebatan tentang keinginannya yang ditolak secara mentah oleh seluruh keluarga.
Maira mengutarakan keinginannya untuk mengayam ilmu dan meraih cita-citanya di Negri yang katanya romantis itu, Paris. Karena salah satu bidang yang ditekuninya adalah bidang seni, Designer. Tapi tak ada seorang pun yang mendukung keinginannya, malah sebaliknya dia diserang habis-habisan oleh seluruh anggota keluarganya.
Maira sebenarnya sudah mengutarakan keinginannya itu satu tahun yang lalu, tapi respon keluarga dengan tegas dan jelas menolak keinginan tersebut.
Awalnya Maira menerima keputusan para orangtua dan sanak keluarganya, tapi setelah mendengar adiknya akan menuntut ilmunya di Negeri orang dan responsif keluarga sangat terbuka, membuat Maira mengutarakan keinginannya sekali lagi, berharap dia juga mendapat respon yang sama seperti adiknya.
Namun, harapan tinggal harapan, boro-boro mendapat dukungan, dia malah mendapat penyerangan nasihat dari seluruh keluarganya. Meski dengan cara lembut.
Apalagi nenek dari ayahnya yang sangat posesiv terhadapnya, setelah mendengar Maira bicara tentang keinginannya itu, neneknya langsung berdiri dan mulailah berpidato persis seorang Da'iah, dan keluarga lainnya bak para jemaahnya, ikut memanggut-manggutkan kepalanya. Membuat Maira memilih untuk mogok bicara.
Awal Maira mogok bicara, semua keluarganya membiarkannya, karena mereka berfikir, kalau Maira akan kembali lagi seperti semula, jika ngambeknya sudah reda. Seperti saat-saat dirinya kecil dulu. Namun semua berubah dan mulai merasa khawatir dengan acara ngambeknya itu, apalagi selama dua hari ini Miara tidak kelihatan turun atau keluar dari kamarnya, bahkan untuk sekedar makan saja.
Padahal, tak ada tahu, sebelum Maira melakukan aksi mogok bicaranya, dia sudah menyetok makanan di dalam kamarnya. Sedia makanan sebelum aksi ngambek-ngambekan, 'Cerdik, kan?'
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Killer-ku (On Going)
General Fiction--Saat cinta diperkuat dengan ikatan pernikahan.-- "Bang!" "Ya." "Kenapa Abang lamar Mai?" "Ingin." "Apakah ... Abang selama ini jatuh cinta ya pada Mai?" "Jangan sembarangan!" Gadis itu mencebikkan bibirnya, 'Kalau gak cinta, ngapain ngelamar, kan...