"Sayang, kamu sedang apa?" Maira menoleh, lalu tersenyum saat melihat ibu mertuanya mendekat menghampirinya, "Kamu gak boleh kecapean!"
"Mai Cuma bantu siapkan piring buat sarapan kok, Mi."
"Ya sudah, oia ... kamu sudah persiapkan semuanya, kan?"
"Sudah, Mi. Mudah-mudahan kali ini Mai berhasil."
"Semangat, Sayang! Berikan kejutan manis dengan kabar kehamilanmu."
Maira mengangguk seraya tersenyum, senyum penuh binar harapan. Melisha mengusap pundak Maira dengan sayang. "Nak, Mami harus jemput papi di Bandara sekarang. Padahal Mami ingin menyaksikan bagaimana raut muka anak Mami yang tembok itu shok dengan kejutan kamu. Tapi, perintah papimu gak bisa dibantah agar Mami menjempunya di Bandara." Melisha menghela nafasnya, "Huh, dasar. Udah aki-aki juga, pulang masih harus dijemput."
Maira terkekeh, "Papi pasti rindu sama Mami karena sudah satu minggu tak bertemu."
"CK, udah tua masih rindu-rinduan," cebik Melisha meski pipinya sudah merona, "Ya sudah Mami berangkat sekarang ya. Semoga berhasil."
"Iya, Mi."
Maira memandang punggung mertuanya, dia begitu kagum dengan para orang tua. Ayah ibunya masih tetap harmonis meski sudah tak muda lagi. Begitu pun dengan mertuanya, meski ayah mertuanya termasuk orang yang irit bicara, tapi dia merasakan jika beliau begitu sangat mencintai istrinya. Menghargai segala hal yang berkaitan dengan ibu mertuanya walau tak begitu jelas diperlihatkan.
Lalu, apakah kehidupan rumah tangganya akan seperti mereka? Sampai saat ini dia masih percaya jika Radhi masih mencintainya, apalagi dia. Bahkan dia yakin jika setiap malam Radhi selalu tidur di sisinya, meski ketika dia bangun hanya menemukan dirinya sendirian di atas ranjangnya.
"Non."
Maira sedikit terperanjat. "Oh, i-iya, Bi?"
"Anu, itu aden udah turun."
Maira mendongak ke ruang keluarga, dan benar, suaminya sedang menuruni tangga sambil membetulkan kancing di tangannya, "Ya sudah, yang ini biar aku bawa ke meja, yang lainnya tolong bibi bawain ya."
"Iya, Non."
"Makasih, Bi."
"Sama-sama, Non. Mari."
Maira sempat mengelus perutnya sebelum menghirup udara, jantungnya berdetak kencang, deg-degan. Semalam rencananya tak berhasil karena Radhi pulang larut sekali, meski sudah berpuluh kali ibunya menelpon dan meminta suaminya itu pulang, nyatanya Radhi lebih memilih bekerja daripada ... 'sudahlah, mungkin dia benar-benar sibuk. Lihat saja bahkan hari ini walau keadaan masih sangat pagi, suaminya sudah siap berangkat ke Kantor.'
Sebenarnya, dia ingin sekali menanyakan perihal Shovy, tapi dia tak berani. Bukan hanya suami, bahkan seluruh keluarganya pun menutupi semuanya darinya. Pernah sekali dia memberanikan diri bertanya pada Radhi, namun seketika dia tak pernah ingin lagi bertanya untuk kedua kalinya.
"Non."
"Ah, ya?" Maira beristighfar, lagi-lagi dirinya melamun.
"Den Radhi sudah di meja makan. Tadi Aden menanyakan Non, dan meminta untuk lekas ke sana."
"Ah iya, makasih sekali lagi, Bi."
"Anu----"
"Ya? Ada apa?" Maira kembali berbalik.
"Itu, piringnya biar Bibi aja yang bawa, Non."
Maira tersenyum, "Gapapa, Bi. Biar sekalian Aku yang bawa." Maira kembali berjalan ke meja makan menghampiri suaminya yang sekarang tengah menatapnya. Tangan Maira sedikit bergetar karena degupan jantungnya yang menggila. Ini kali pertama setelah insiden itu mereka makan berdua.
Tatapan Radhi terputus saat ponsel miliknya berdering, tanpa menunggu lagi, dia langsung mengangkatnya. Radhi berdiri sambil terus mendengarkan si penelpon dan sedikit menjauh dari meja. Ujung mata Maira menangkap gelagat suaminya yang seperti tengah menahan marah, terbukti dari kepalan tangan kanannya yang memutih serta tonjolan urat di area lehernya.
Selangkah lagi Maira menuju meja makan, tangannya terulur hendak menyimpan piring berisi lauk yang tadi dimasak bibi. Namun perutnya tiba-tiba kram dan rasanya melilit sakit sekali. Merasa kaget dengan keadaan perutnya, Maira refleks menjatuhkan piring tersebut disertai jeritan kesakitannya.
Mendengar jeritan Maira, Radhi sontak menoleh dan matanya langsung melebar saat istrinya sudah berjongkok sambil memegang perut. Jangan lupakan pecahan piring yang sudah hancur berkeping dicampur dengan masakan yang berceceran.
"Khumaira." Radhi berlari dan segera menjauhkan tubuh istrinya dari pecahan tersebut. "Ada apa denganmu?" tanyanya kuatir.
Maira meringis pelan namun tak ayal dia menyunggingkan senyumannya, "Gapapa kok, Mas. Tadi ... tanganku sedikit licin, jadi piringnya tak sengaja lepas. Ma-af!" ucapnya tak enak.
Wajah Radhi mendadak keruh, apalagi setelah melihat senyuman istrinya seolah keadaan tadi bukanlah apa-apa. "Siapa yang izinin kamu bekerja di dapur?"
Maira mendongak langsung menatap Radhi yang sama tengah menatapnya juga, keningnya sedikit mengkerut, merasakan nada suara suaminya mendadak tak enak didengar. "Aku ... tak bekerja kok. Tadi, aku hanya membawa satu hidang--- AARH!"
"Hanya? Kamu bilang hanya?" Radhi mendorong Maira sedikit keras sehingga tubuh istrinya membentur dinding, "Lihatlah! Ha-nya membawa satu piring makanan ke meja saja kamu tak bisa, Khumaira. Dan masih mau membantah apa yang suamimu perintahkan? Aku memintamu duduk dan tinggal makan saja, apa itu terlalu berat untukmu, heh?"
Deg. Jantung Maira serasa diperas kuat, sakit. Hatinya tercabik saat dengan nada rendah Radhi menandaskan jika dirinya memanglah manusia yang tak berguna. Manusia yang hanya bisa membuat kekacauan. Tak terasa penglihatannya sedikit memburam, sekuat tenaga dia menggigit bibirnya agar suara tangisan tak melesak keluar.
Bahkan Radhi sudah tak menyebut Mas lagi saat memanggil dirinya sendiri.
"M-ma-af. Se-sekali lagi aku merepotkanmu, Mas."
"Aku memintamu untuk berdiam, jangan melakukan hal-hal yang memang tidak bisa kamu lakukan. Jika kamu tak bisa membantu, maka diamlah agar tidak terus-menerus merepotkan orang lain." Setelah meluapkan kemarahannya Radhi menyambar tas kerjanya dan langsung pergi tanpa menolehkan kepalanya ke belalang di mana ada Maira yang tengah meringis sambil memegang perut. Bahkan air kopi yang dibuatkan bibi pun belum dia sentuh sama sekali.
'Brak!' Radhi takkan pernah menduga jika sikapnya barusan akan membuatnya mendapatkan penyesalan yang begitu dalam dan panjang. Mungkin seumur hidup dia akan merasakan penyesalannya.
"Astaghfirullooh, Non." Bibi PRT langsung memeluk tubuh mantu majikannya yang bergetar hebat, "yang sabar, Non. Sudah, sudah!"
Tangisan Maira semakin menjadi, bahkan suaranya sudah tersendat, lidahnya seolah terkunci walau sekedar untuk membalas ucapan PRT itu. Dia terus saja menangis di pelukan bibi PRT dalam keadaan terduduk di lantai. Tak menyadari seseorang yang sudah mengepalkan kedua tangannya dengan wajah merah padam penuh amarah. Dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan bagaimana Radhi menyakiti Maira, perempuan yang paling berarti untuknya.
Tak tahan melihat keadaan Maira, dia langsung berbalik keluar rumah besar itu, dalam hatinya tanpa sadar dia menyumpahi Radhi akan mendapatkan balasan atas perbuatannya barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Killer-ku (On Going)
Ficción General--Saat cinta diperkuat dengan ikatan pernikahan.-- "Bang!" "Ya." "Kenapa Abang lamar Mai?" "Ingin." "Apakah ... Abang selama ini jatuh cinta ya pada Mai?" "Jangan sembarangan!" Gadis itu mencebikkan bibirnya, 'Kalau gak cinta, ngapain ngelamar, kan...