“Makan siang di Kantor, Mas mau makan nasi dan kari tutut buat menunya.”
Maira yang tengah memasang dasi suaminya langsung mendongak sambil mengerutkan dahi. Pasalnya, seumur dia menjadi istri Radhi, dia tak pernah melihat suaminya itu memakan sayur tutut.
“Jangan lupa harus kamu yang memasaknya.”
Maira membuka lebar mulutnya, apa-apaan itu? Sepanjang dia ingat, dia belum pernah memakan hewan itu, apalagi memasaknya. Apa rasanya sama seperti kerang? Dan lagi, sejak kapan dirinya diizinkan ke dapur untuk memasak? Bahkan untuk memasak airpun biasanya suaminya ini selalu melarangnya. Radhi selalu khawatir jika dirinya akan membuat kekacauan, mengingat bagaimana sikapnya yang begitu ceroboh. Entahlah, terkadang sifat posesif Radhi membuat Maira manyun sepanjang hari. Maira yakin, bahwa selama ini, Radhi tak pernah tahu jika sarapan yang selalu mereka konsumsi setiap pagi itu hasil masakan dirinya bersama ibu mertuanya. Dan Maira tak pernah berniat untuk memberitahu suaminya jika dia memang sudah pintar memasak. Padahal jika dirinya jauh dari suaminya, dia adalah sosok yang terampil dan anggun. Tapi entah kenapa jika sedang bersama Radhi, maka dia akan menjadi ceroboh gak ketulungan.“Mas, Mai gak pernah memasak tutut.”
“Ya, Mas tahu itu. Ini adalah pertama kalinya kamu masuk dapur untuk memasak, kan? Makanya Mas kasih kamu tantangan. Kalau masakanmu berhasil, Mas akan izinin kamu kedapur untuk memasak.”
Maira mengerucutkan bibirnnya, “Sok tahu. Mas, Mai benar-benar gak bisa memasaknya. Boro-boro masak, makanpun Mai belum pernah.”
“Mas yakin kamu pasti akan menyukainya juga.”
“Tapi kan---”
“Ssstt, makan siang harus ada, Mas gak terima penolakan.” Maira mencebik, keluar lagi deh sikap bossy-nya. Sungguh, ingin rasanya dia memakan suaminya itu. “Terus Mai beli itu tutut di mana?” tanyanya sarkas.
Radhi tersenyum melihat istrinya merajuk. Entahlah, hari ini dirinya ingin memakan masakan istrinya. Jangan tanyakan kenapa dia memilih tutut untuk menjadi menunya! Karena diapun sama, tak tahu jawabannya. Pingin aja. Tangannya mengulur dan membelai bibir Maira yang masih setia mempout. “Banyak di pasar. Biar dibelikan sama bibik, kamu hanya perlu memasaknya. Resepnya tanyakan aja pada mami! Satu lagi poin penting buat kamu, jangan melakukan hal-hal yang berbahaya! Ingat, jangan menunggu cangkangnya empuk, ya! Karena sampai kapanpun, itu gak bakalan terjadi.’’
“Mai gak pernah makan, bukan berarti gak pernah lihat, ya.”
Radhi lagi-lagi terkekeh, “Mas hanya mengingatkan, Sayang. Ayok kebawah! Mami pasti sebentar lagi manggil kita kalau kita telat di meja makan, pasti nuduh kita yang enggak-engak, seperti subuh tadi.”
“Itu gara-gara Mas si. Jahil kok kelewatan.” Benar, subuh tadi mereka hampir saja kesiangan untuk berjamaah sholat Subuh andai ibu mertuanya tak menginterupsi keduanya dengan menggedor kamar mereka. Maira malu bukan kepalang, apalagi ketika di dapur saat membuat sarapan tadi, ibu mertuanya itu terus saja menggodanya tak ada hentinya menanyakan alasan mereka kesiangan.
Radhi merangkul Maira, “Ya udah, kita putar arah aja kalau kelewetan.” Maira yang sudah gemas, akhirnya menyubit perut sixpack suaminya.
“E-eh, pengantin baru memang masih masa-masa penuh energi, ya. Mami suka.” Maira tersipu malu saat untuk kedua kalinya di pagi hari ini dia terpergok sang mertua. Walau mereka sebenarnya tak melakukan tindakan tidak senonoh, tetap saja dia merasa malu. Melisha menatap menantu cantiknya dengan pandangan jahil, lalu menatap Radhi, berharap dirinya menemukan sirat merah pada pipi putranya. Namun seperti biasa, Radhi hanya merespon dengan diam seribu Bahasa. Tak menyangkal juga tak mengakui. Ck, dasar kutub Utara, sebenarnya dia gen siapa, si? Kok gitu amat. Tak terbayang olehnya jika dia bakalan punya putra sepeti Radhi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Killer-ku (On Going)
Fiksi Umum--Saat cinta diperkuat dengan ikatan pernikahan.-- "Bang!" "Ya." "Kenapa Abang lamar Mai?" "Ingin." "Apakah ... Abang selama ini jatuh cinta ya pada Mai?" "Jangan sembarangan!" Gadis itu mencebikkan bibirnya, 'Kalau gak cinta, ngapain ngelamar, kan...