21

4.4K 345 38
                                    


"Assalaamu'alaikum. Mi, Mai pulang." Maira berjalan masuk dengan langkah gontai, seperti tanpa jiwa. Atau lebih tepatnya ... sedikit melamun.

"Wa'alaikumussalaam warahmatullah. Sayang, sini! Lihat siapa yang datang!" Suara sang ibu mengalun lembut di telinganya. Membuat Maira menggelengkan kepala, berharap dia segera sadar dari halusinasinya. Ibunya menyambutnya dengan lembut? Oh, jangan harap!

'Astagfirullaah!' Maira terus mengucap istighfar, berharap pikirannya kembali normal. Bahkan jantungnya pun masih terasa berdebar kencang, walau tak sekencang 30 menit yang lalu. Saat dirinya berada di toko buku sampai pulang diantar ....

"KYAAA!! Astagfirullaah, Maira. Wake up, comen!!" Maira berseru kencang sambil terus menepuk kedua pipinya yang memerah. Entah karena tepukan tangannya, atau karena hal lain. Tak menyadari jika dia sudah menjadi pusat perhatian beberapa pasang mata yang menatapnya dengan berbagai penilaian. Bahkan, kerutan dahi pun jelas tergurat di atas tatapan mata penuh pertanyaan.

Kayla meremas jarinya saking gemasnya. Andai di sana tak ada mertuanya, tangannya sudah gatal ingin menggetok kepala sang putri, mencubit kulitnya, serta mempiting lehernya. Bahkan giginya sudah terkatup rapat mengunci sebisa mungkin agar tak ada jeritan penuh omelan khasnya untuk putri satu-satunya ini, yang sialnya juga cucu perempuan satu-satunya sang mertua.

Bisa-bisanya Maira membolos di jam kuliahnya. Apalagi jika dosennya adalah mantu idamannya, Radhi. Makin gak punya muka dia. Kayla sangat malu sekali, ketika pukul 10 tadi Radhi menelponnya menanyakan keberadaan Maira. Dengan percaya dirinya, Kayla menjawab bahwa sang putri sedang belajar di kampus dengan tekunnya. Bahkan dengan menggebu memuji putri satu-satunya ini seperti seorang SPG yang dikejar target mempromosikan dagangannya.

Namun, jawaban Radhi membuatnya terjun bebas tanpa parasut dari ketinggian pohon toge. "Tapi, kok saya gak melihatnya ya, Tan? Sekarang saya sedang berada di kelasnya. Karena memang saat ini sayalah yang mengajar."

Bisa dibayangkan bukan, bagaimana malu dirinya saat itu? Bahkan sampai sekarang pun.

Sayang sekali, mungkin hari ini, hari keberuntungan bagi putrinya karena mertuanya berkunjung ke rumah di saat dirinya menantikan moment di mana dia akan mengeksekusi putri bandelnya, sehingga Kayla harus bersabar menanti hari esok.

"Khumaira sayang, kamu kenapa, Nak?" Kepala Maira langsung menoleh ke asal suara yang memanggilnya lembut. Seketika tubuhnya menegang dengan mata membulat menyadari kehadiran kakek neneknya. Apa mereka melihat tingkahnya barusan? Matanya melirik ke arah sang ibu yang duduk di samping neneknya dengan mengumbar senyum yang entah mengapa justru membuat bulu kuduk Maira berdiri semua.

"Nak." Panggilan itu mampu mengembalikan Maira dari keterpakuannya. Tersenyum, berjalan dengan tenang, "Assalaamu'alaikum, Nenek, Kakek." Maira menyalami mereka dengan sopan, juga pada ibunya yang tengah menatapnya dengan aura sedikit membuatnya takut. "Nenek dan Kakek apa kabar?"

"Alhamdulillah, Sayang. Kami sehat wal 'afiat. Sudah berapa lama kamu tak main ke rumah Nenek? Nenek agak pangling melihatmu. Makin cantik persis ibumu."

Maira tersenyum menanggapi, begitupun dengan Kayla yang hidungnya sudah berkembang layaknya adonan roti yang diberi ragi. "Mohon maaf, Nek! Akhir-akhir ini kegiatan Mai sedang agak padat," jawab Maira sedikit tak enak. Terdengar dengusan kecil dari arah samping, seolah mengejek ucapannya. Maira juga yakin bahwa itu adalah ibunya. Gak mungkinkan kalau neneknya.

"Nenek mengerti, Sayang! Ahhh, ternyata cucu Nenek sudah besar. Gak terasa, ya?" Maira kembali tersenyum, tapi sekarang lebih ke canggung. Kok rasanya agak gimana ... gitu.

"Iya, Mi. Kay juga begitu. Rasanya seperti mimpi jika sebentar lagi putri Kay bakalan digondol suaminya. Hihihi." Maira spontan menoleh ke arah sang ibu. Apaan itu?

Suami Killer-ku (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang