"Katanya ratu sekolah, tapi kok tinggal kelas? Sekolah mana? Tadika mesra?" Begitulah kalimat pada pertemuan pertama dari Ditto untuk Reanna.
Reanna Sifabella, gadis dengan berbagai julukan. Mulai dari ratu bullying hingga ratu sekolah. Kecantikann...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hai!
Selamat datang di lapak Ditto & Reanna!
Jangan lupa pencet tombol bintang dulu, sebelum bacaaa
Udah belomm??
Udah siap untuk ramaikan komen di setiap paragrafnyaa?
Pakai love “💛” di lapak ini, ya!
Happy reading, Men <3
***
Hidup tidak akan berjalan sesuai keinginanmu. Takdir bukan hanya milikmu, tapi semua orang yang memiliki mimpi dan berani bermimpi.
— Kita & Mesin Kopi
☕☕☕
"Ayah!" Seorang bocah laki-laki yang berusia satu tahun, berlarian dengan kaos dalamnya. Mengejar sosok yang dipanggil— Ayah.
Pria paruh baya dengan setelan pakaian sederhana, mengangkat tas besar berisi baju-baju. Pria itu menghentikan langkahnya. "Jagoan kecil Ayah, jaga Ibu, ya?"
Ia berjongkok, memeluk sang bocah— yang merupakan putranya. Mencium wajahnya, dari pipi kanan, kiri, dan berhenti pada dahi.
"Ayah, Ayah mau pelgi ke mana?" tanya bocah yang belum lancar dalam berbicara itu.
"Jaga Ibu, ya? Ayah janji, Ayah akan pulang lagi nanti."
Ditto kecil— si bocah laki-laki tadi, ditarik paksa oleh ibunya. "Sudah, biarkan saja Ayah pergi."
Dengan polosnya, Ditto kecil hanya menuruti perkataan keduanya. Berbekal kepercayaan pada ucapan sang ayah yang berjanji akan kembali.
Ditto mengerjapkan matanya beberapa kali saat mimpi buruk itu kembali datang. Kejadian enam belas tahun silam, sering menghantuinya. Datang dan kembali membuatnya terbayang akan memori pahit itu.
Saat itu, usia Ditto masih satu tahun. Saat ayahnya pergi meninggalkannya dan ibunya. Walau masih sangat belia, namun otaknya mampu merekam dengan jelas kejadian itu. Hingga ia masih selalu mengingatnya sampai sekarang.
Janji sang ayah yang hingga kini terus ia pertanyakan keberadaannya. Hingga Ditto harus menjadi tulang punggung keluarganya untuk menggantikan ayahnya— yang entah ada di mana.
"Bohong. Ayah bohong," gumamnya seraya meremas selimut yang ia pakai.
