Suara detikan jam ditengah malam terdengar begitu jelas ditelinga Valen yang saat ini sedang berandai-andai. Seandainya saja hari itu Gariel tak menyelamatkannya, bagaimana nasib Valen saat ini? Seandainya bukan Gariel yang tertabrak saat itu, apa Valen masih bisa merenung diatas kasurnya seperti yang ia lakukan saat ini? Seandainya orangtua Gariel tak sebaik itu, apa yang sudah akan terjadi dengan dirinya?
Terlalu banyak kata seandainya yang ia lamunkan malam ini. Dengan mata yang tak kunjung menutup setelah beberapa jam ia merebahkan diri diatas pulau kapuknya.
Tengah malam memang selalu menjadi teman terbaik untuk merenung. Memikirkan segala hal baik dan buruk yang sudah dan akan terjadi. Kesunyian yang menjadi pengiring adalah hal paling menenangkan yang disajikan tengah malam. Diselingi suara jangkrik yang kadang terdengar dari kejauhan saling bersahutan.
Otak Valen sudah lelah untuk berpikir, namun matanya berkhianat dengan tak bisa tertutup meski sudah dipaksa sekuat mungkin. Valen duduk, bersandar pada sandaran ranjang dengan guling yang ia letakkan diatas paha yang ia selonjorkan.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. Valen sampai dirumah sekitar jam setengah sebelas malam tadi, dengan orang tua Gariel yang mengantar tentu saja. Dan anehnya, orangtuanya yang ternyata masih terjaga entah kenapa tak menjemputnya di rumah sakit tadi. Namun karena terlalu lelah ia meminta izin langsung masuk ke kamar dengan alasan ingin beristirahat.
Orangtua Gariel dan orangtuanya duduk dibawah, diruang keluarga padahal jam sudah menunjukkan hampir tengah malam. Hanya sebentar karena setelahnya dari dalam kamar Valen dapat mendengar suara mesin mobil yang tadi ia tumpangi bersama orangtua Gariel menjauh dari perkarangan rumahnya. Itu artinya orangtua Gariel hanya mampir sebentar, mungkin hanya untuk basa-basi dan meminta maaf karena memulangkan anak gadis orang dilarut malam. Entah iya entah bukan.
Bertemankan sunyi, Valen berpikir keras tentang apa saja yang harus ia lakukan untuk kedepannya. Tentu tanggung jawabnya mulai sekarang bukan hanya tentang dirinya sendiri lagi, namun juga tentang Gariel hingga cowok itu sembuh betul. Pikirannya buntu, ia tak tahu harus memulai dan mengakhiri dititik mana.
Valen mengambil ponselnya yang terletak diatas nangkas disamping ranjang. Men-scroll kontak di handphone miliknya, hingga ia menemukan sebuah nama yang ia butuhkan. Valen melakukan panggilan pada kontak tersebut. Panggilan pertama dan langsung dijawab.
"Assalamualaikum," ucap suara diseberang sana.
"Waalaikum salam," ucap Valen.
"Ada apa lo nelpon gue jam segini?"
Orang itu Fira, sahabat Valen yang selalu menemaninya saat dirumah sakit. Valen tahu betul kebiasaan Fira yang selalu tidur larut malam, makanya ia melakukan panggilan saat angka di pojok atas teleponnya sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
"Gue bingung."
"Bingung kenapa? Ngomong yang jelas."
Valen terdiam sejenak. Menyusun kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini.
"Gariel udah sadar."
"What?? Kapan?"
Pekikan cukup keras diseberang telepon membuat Valen harus mengelus telinganya dengan kasar sesaat dan berdoa agar tidak terjadi apa-apa pada alat pendengaran itu.
"Beberapa jam yang lalu. Tadi gue baru pulang dari rumah sakit, diantar sama bokap nyokapnya Gariel," terang Valen.
"Terus, Lo bingung kenapa?" Fira mengulang pertanyaannya yang tadi belum terjawab. Jarang-jarang sahabatnya ini menelpon ditengah malam seperti ini jika bukan karena suatu hal yang sangat penting.

KAMU SEDANG MEMBACA
GALEN (SELESAI)
Teen Fiction"Jadiin gue pacar lo!" Valen membeku dalam keterkejutannya. Menunduk dalam. "Maksud kamu?!" "Jadiin gue pacar lo, kalau itu bisa menebus rasa bersalah," jawab Gariel enteng. --------------- Ini adalah kisah tentang mereka yang sama-sama tak menyadar...