Malam ini, sang tuan puteri tak bisa tidur. Dengan menahan kekesalan yang memuncak, Valenia bangun dari posisi tidurnya. Menatap langit-langit kamar yang berwarna putih, tangisnya meluruh dalam diam. Pedih itu kini terasa. Pikirannya menerwang jauh atas hal yang terjadi akhir-akhir ini. Tangan mungilnya bergerak membuka laci meja disebelah tempat tidurnya, menarik keluar sebuah gelang kayu.
Gariel. Pemuda itu seperti menjadi medan gravitasi bagi dunia Valen kini.
Kembali terbayang jelas bagaimana senyumnya yang hanya berupa lengkung tipis, wajah kesalnya yang selalu bertahan lama, hingga genggaman tangannya yang selalu hangat. Tak mau munafik, Valen merindukannya. Valen rindu mengadu saat ia bermimpi, rindu ditenangkan oleh cowok itu.
Jauh dari dalam lubuk hatinya, ada rasa tak ikhlas memutus hubungan dengan Gariel. Ada rasa ingin berjuang, ingin mengambil alih hatinya, ada rasa kesal pada gadis yang bahkan tak dikenalnya, gadis yang menjadi pemilik hati mantan pacarnya. Tapi, Valen terlalu takut. Takut jika rasanya mendapat penolakan, pengabaian. Ia takut gagal. Ia dan gadis itu tak sepadan. Ia mencintai, sedang gadis itu diberi cinta. Rasanya berjuang pun akan sangat berat.
Lampu kamar yang terang bederang malam itu menjadi saksi bagaimana seorang Valenia Putri Hartanto merasa takdir tak cukup adil padanya. Dari kecil ia sudah mengalami hal yang tidak seorang pun inginkan, dunianya kelam sejak saat itu. Ia memang tertawa seperti gadis-gadis seusianya, namun tak ada yang tahu, dibalik itu semua, Valen sering menangis dijam-jam pertengahan malam. Tawanya untuk menutupi luka.
Jujur, Valen cukup terluka saat dulu orangtuanya sempat membawa ia ke psikolog dan psikiater. Mungkin bagi anak-anak lain yang mengalami hal-hal mengguncang mental, mereka membutuhkan bantuan psikolog. Namun bagi Valen, sungguh, ia tak butuh orang-orang itu. Ia hanya butuh lilin, untuk menerangi jiwanya. Untungnya saat ia bilang tak ingin konsultasi lagi orangtuanya tak memaksa.
Setelah puas menangis, Valen akhirnya tertidur karena kelelahan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Begitu damai di alam bawah sadarnya, hingga...
Dua anak kecil itu dibawa masuk kedalam sebuah rumah tua. Sangat gelap dan pengap disana. Valen kecil mengintip dari balik pohon besar yang menutupi seluruh tubuhnya. Ia dapat melihat dengan jelas bagaimana dua bocah laki-laki yang mengenakan pakaian kembar itu digendong oleh laki-laki dewasa bertubuh gempal.
"Om jahat mau culik anak kecil. Kata bunda harus langsung kabul,"ucap Valen kecil.
Valen hampir menangis karena ketakutan, cokelat yang dibelikanya untuk sang bunda ia genggam erat-erat. Gadis kecil itu sudah akan berbalik dan melarikan diri dari tempat itu, saat sepasang mata menatapnya. Valen tak akan pernah bisa lupa bagaimana tatapan memohon itu.
Salah satu dari dua bocah laki-laki itu menemukannya dalam gelap dibalik pohon. Valen menggelengkan kepala, tangisnya mulai meluruh. Hingga dua bocah itu sudah tak terlihat karena ditelan oleh pintu yang tertutup.
Valen ingin pergi. Namun kakinya seperti beku, tak bisa digerakkan. Tatapan anak kecil yang memohon itu terbayang jelas dipelupuk matanya, bahkan saat ia memejamkan mata. Hingga entah mendapat keberanian dari mana, Valen mendekat kerumah itu. Mengendap dari sayap rumah bagian kanan.
Valen tak begitu kesusahan meski gelap. Karena rumah kosong ini pernah beberapa kali ia jadikan tempat bermain petak umpet bersama teman-temannya. Jaraknya yang hanya berselang beberapa rumah dari rumah Valen kecil membuat ia begitu familiar. Gadis kecil bergaun merah itu langsung menuju belakang rumah, seingatnya, pintu belakang rumah itu berlubang besar, bahkan dulu ia sempat bersembunyi dibalik pintu itu saat bersembunyi.
"Ini dia!!"
Valen segera masuk setelah menemukan lubang sebesar kardus mi instan yang tercipta akibat kayu yang lapuk dimakan usia. Meski kesusahan, tubuh kecilnya akhirnya bisa masuk dengan selamat.
KAMU SEDANG MEMBACA
GALEN (SELESAI)
Teen Fiction"Jadiin gue pacar lo!" Valen membeku dalam keterkejutannya. Menunduk dalam. "Maksud kamu?!" "Jadiin gue pacar lo, kalau itu bisa menebus rasa bersalah," jawab Gariel enteng. --------------- Ini adalah kisah tentang mereka yang sama-sama tak menyadar...