Valen tak bisa menyembunyikan gurat khawatir diwajahnya sejak dua jam yang lalu. Puluhan kerikir dihadapannya telah menjadi korban akan hal itu. Kerikir-kerikil yang awalnya bertumpuk rapi kini sudah beserakan akibat ulah Valen yang menendangnya secara tak sabaran.
Kaki Valen dihentak-hentakkan ke tanah dengan tak kalah kasar. Ia menyedot pasukan oksigen sebanyak-banyaknya untuk memenuhi ruang paru-parunya. Berjalan mondar-mandir sambil menengok kekanan dan kekiri, dengan ponsel yang setia menempel ditelinga kanannya. Suara operator kembali terdengar, membuat Valen kembali mendesah panjang. Tidak biasanya sang ayah telat menjemputnya sampai selama ini. Suasana sekolah yang sekarang sudah sangat sepi membuat Valen kembali mengingat memori buruknya dulu. Memori yang selalu datang menjadi mimpi buruk baginya.
Valen menggeleng keras untuk mengenyahkan bayangan itu dari dalam otaknya. Ia menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Valen memang merasa takut jika ditinggal sendiri. Walau pada siang hari seperti ini sekalipun. Ia takut gelap. Takut ruang tertutup. Juga takut saat berada disuatu tempat yang ia tak mengenal siapapun disana.
Cewek itu semakin resah. Berulang kali ia mencoba menelpon orang tuanya namun selalu tak dapat tersambung. Supir keluarganya pun tak menjawab panggilan darinya.
Valen bersandar pada gerbang sekolahnya yang kini sudah tertutup. Ia sendirian, dan ia takut. Walau dihadapannya banyak kendaraan yang melintas namun Valen tetap ketakutan, karena tak ada seorangpun yang ia kenal disini. Bagaimana jika ada orang yang berniat jahat padanya sekarang? Valen memikirkan hal itu.
"Yah, ayah kemana? Valen takut," lirihnya pada dirinya sendiri.
Valen berjongkok. Sambil memeluk lututnya Valen berusaha sekuat tenaga untuk menghalau air mata yang mengantri untuk keluar dari pelupuk matanya. Orang mungkin akan berfikir bahwa Valen aneh, karena ia merasa ketakutan dilingkungan seramai ini. Namun memang itu-lah yang Valen rasa. Ia benar-benar ketakutan. Rasa traumanya kembali naik kepermukaan.
Menurut Valen, orang-orang itu sekarang dapat menganggapnya aneh karena mereka belum pernah mengalami hal mengerikan yang dapat membuat mereka trauma seperti dirinya. Rasa trauma tak memiiki obat. Rasa itu tak akan pergi seumur hidup.
Valen benci saat ada orang yang menyuruhnya untuk melawan rasa trauma itu. Mereka pikir melakukannya dapat semudah perkataan mereka. Jika punya kesempatan untuk memilih, Valen sudah pasti akan memilih untuk hidup damai tanpa rasa trauma. Namun apalah daya, hidup dengan rasa takut ini sudah menjadi jalannya.
Valen masih setia menunduk ketika tiba-tiba seseorang menyetuh pundaknya yang bergetar. Valen memejamkan matanya rapat-rapat. Bayangan segerombolan preman dengan tubuh penuh tato merasuki pikiran Valen. Ia takut jika saat ia membuka mata yang akan dilihatnya adalah persis seperti yang dibayangkannya itu.
Valen memeluk lututnya semakin kuat.
"Valen."
Suara seorang lelaki terdengar tepat dihadapannya. Valen yakin betul bahwa suara itu adalah milik seseorang yang masih memegang pundaknya itu. Sejenak rasa takut Valen menguar. Ia belum tahu siapa orang dihadapannya, namun merasa lega bahwa setidaknya orang itu mengenal dirinya.
Suara itu terdengar familiar ditelinga Valen.
Valen membuka matanya perlahan. Terlihat buram akibat air mata yang mengenang dipelupuk matanya. Valen menajamkan penglihatannya hingga terlihat siluet seorang laki-laki yang ikut berjongkok dihadapannya. Valen tak dapat melihat wajahnya.
Saat orang itu memanggil namanya untuk yang kedua kalinya, Valen semakin yakin bahwa orang itu adalah seseorang yang mengenalnya. Secepat kilat Valen langsung memeluk cowok dihadapannya. Tangis Valen pecah seketika. Ia terus terisak dicuruk leher cowok itu. Tangan Valen mengerat pada bagian belakang baju yang digunakan cowok itu.
Setelah lima menit berlalu dalam posisi yang sama, Valen merasakan tepukan-tepukan kecil dipunggungnya. Hal kecil itu membuat ia merasa tenang, walau air mata masih setia mengalir membasahi pipi.
Valen akui bahwa ia merasa nyaman berada dalam pelukan cowok yang belum ia ketahui siapa itu. Cowok itu sangat pandai dalam menenangkan orang lain, terbukti dari awal-awal Valen memeluknya, cowok itu tak berkata apa-apa juga tak melakukan apa-apa. Ia hanya membiarkan Valen memeluk dan menagis dipundaknya. Tanpa banyak hal lain.
"Lo kenapa?" tanya cowok itu hati-hati dengan masih menepuk-nepuk punggung Valen.
"Gue takut. Gue takut ada orang jahat, ujar Valen sambil terus terisak. Pelukanya sudah sedikit mengendur dari pertama kali tadi. Rasa takutnya pun kini sudah berangsur menghilang.
Cowok itu tak lagi bersuara.
Valen sangat berterima kasih pada siapapun cowok yang sedang dipeluknya saat ini. Jika seandainya tidak ada cowok itu, entah sudah bagaimana keadaan Valen saat ini. Gadis itu pasti masih meringkuk sendirian dengan rasa takutnya. Valen mengurai pelukannya, lalu mengangkat wajah hingga memandang cowok dihadapannya dengan lekat.
Valen menyerngit singkat, pandangannya semula buram karena air mata. Setelah menghapus air mata yang menghalangi penglihatan, Valen malah tersentak saat mengetahui bahwa cowok yang ia peluk tadi adalah Gariel. Ya, cowok itu adalah cowok yang sama dengan orang yang menawarkan tebengan padanya tempo hari.
Valen menggeleng. Gak mungkin! Gak mungkin! Ini pasti cuma halu, batinnya menjerit.
Rasa malu kembali menyerangnya. Baru tadi pagi ia bersumpah bahwa ia tak akan menampakkan wajahnya dihadapan Gariel lagi setelah kejadian dikantin, sekarang ia malah menangis dihadapan cowok itu bahkan tadi Valen memeluknya.
Valen benar-benar tak tahu harus berkata apa lagi. Belum habis rasa malunya akibat kejadian dikantin, sekarang Valen mempunyai rasa malu yang baru bersama cowok yang sama. Valen jadi ingin menenggelamkan dirinya kedasar palung lautan saat ini juga.
Gariel terang-terangan menampakkan wajah bingungnya kearah Valen. Alis tebal cowok itu menyatu ditengah. Kernyitan di dahinya nampak timbul dengan sangat jelas.
"Lo gak papa?" Walau wajah cowok itu datar, namun pertanyaan yang keluar itu tulus.
"Gak," jawabnya singkat. Valen terus menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah, lalu berdiri dari posisi semulanya.
"Terima kasih dan maaf," sambung Valen.
"Untuk?" tanya cowok itu singkat.
"Terima kasih untuk apa yang lo lakuin tadi, dan maaf karena baju lo jadi basah karena gue."
Gariel menunduk, memandang kearah bahunya dan ternyata memang benar kaos yang saat ini ia gunakan terlihat basah pada bagian bahu. Gariel kembali memandang kearah Valen, membuat yang dipandang kembali menunduk secara dalam.
"Kenapa belum pulang?" tanya Gariel secara singkat dan langsung menjurus ke inti pertanyaannya. Memang begitu sifatnya, to the point. Cowok itu sudah ikut berdiri dihadapan Valen dengan kedua tangan ia masukkan kedalam kantung celana. Wajah datarnya kembali terbit.
"Ayah belum jemput."
"Mau gue anterin?" tawar Gariel masih dengan wajah tanpa ekspresinya.
"Gak usah, gue nunggu ayah aja," tolak Valen dengan menunduk, tak punya ide kapan kiranya sang ayah akan tiba.
"Gue antar. Belum tentu juga ayah lo bakal segera jemput," ujar Gariel dengan nada datar. Gariel melangkah, berjalan kearah sepeda motor yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri.
Valen mendekat, berdiri tepat disamping sepeda motor milik Gariel lalu ikut menaiki sepeda motor itu setelah berpikir sekian lama. Cewek itu takut jika betul ayahnya tidak akan segera menjemput. Dan ia takut jika harus kembali sendirian disini. Jadilah akhirnya ia mengikuti cowok yang kini berada diatas motor itu.
Valen mengirimkan pesan kepada ayahnya bahwa ia telah pulang bersama teman, takut-takut jika nanti ayahnya akan menjemput. Untuk pesan Valen yang mengatakan ia pulang bersama teman, entahlah Valen pun bingung apa ia mereka memang berteman.Ia dan Gariel baru kenal beberapa hari terakhir ini, itupun hanya sebatas teman sekelas. Cowok itu terkesan dingin menurut Valen, setelah ia perhatikan dalam beberapa hari ini. Beberapa cewek cantik seangkatannya yang ingin berkenalan dengan cowok itu pun hanya dibalas tatapan dingin olehnya. Valen bukannya memang bermaksud diam-diam memperhatikan Gariel, ia hanya sebatas memperhatikan sifat orang yang baru dikenalnya, dan itu memang sudah menjadi kebiasaan Valen sejak lama.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
GALEN (SELESAI)
Teen Fiction"Jadiin gue pacar lo!" Valen membeku dalam keterkejutannya. Menunduk dalam. "Maksud kamu?!" "Jadiin gue pacar lo, kalau itu bisa menebus rasa bersalah," jawab Gariel enteng. --------------- Ini adalah kisah tentang mereka yang sama-sama tak menyadar...