Sahabat itu aneh. Dikatai malah bilang makasih. Ditampar malah nganggap peduli. Dikhianati masih bisa percaya.
---Jika biasanya saat baru sampai ke sekolah Valen akan dengan sangat terburu-buru berjalan masuk kedalam kelasnya, maka beda halnya dengan hari ini dimana cewek itu masih nangkring didepan pos satpam bersama Pak Mahdi, satpam sekolahnya.
Valen mendapat tatapan bingung dari beberapa siswa yang lewat didepan pos, tentu saja. Meski risih, ia masih mencoba tak beranjak dari duduknya.
"Masih nunggu orang, neng?" tanya bapak-bapak berkepala plontos dihadapan Valen dengan senyum ramah khasnya.
Valen tersenyum menanggapi ucapan Pak Mahdi. "Iya, Pak," jawabnya singkat.
Tak berapa lama sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan pagar sekolah, yang tepatnya berada disamping pos satpam tempat Valen duduk. Valen beranjak karena ia tahu betul pemilik mobil itu bahkan sebelum kaca mobil diturunkan dan pintu depan dibuka. Senyum tipis menghiasi langkahnya yang terkesan buru-buru, seakan dikejar oleh sesuatu yang tak terlihat.
"Assalamualaikum, Tante."
"Waalaikumsalam, sayang," jawab Annisa saat turun dari kursi penumpang sebelah kanan. Dan Valen langsung menyalami tangannya yang sudah mulai berkeriput.
Sudah bisa menebak siapa orang yang sedari tadi ditunggui oleh Valen? Bukan. Bukan Annisa. Lebih tepatnya putra dari wanita paruh baya itu, Gariel Navalthan Yudha, pacarnya.
Saat kemarin mengantar Gariel pulang ke apartemen cowok itu, Valen yang juga berada satu mobil dengan Gariel sempat mencuri dengar bahwa Annisa dengan sangat tegas berkata bahwa ia akan mengantar jemput Gariel mulai hari ini sampai cowok itu benar-benar pulih kondisinya.
Gariel tentu saja menolak karena ia pikir ia malah terlihat seperti anak kecil jika harus diantar jemput oleh mamanya, dengan alibi bisa berangkat bersama Dika atau memesan taksi online cowok itu menolak halus. Namun bukan Annisa namanya jika tak bisa mempertahankan perintahnya pada sang putra.
Dengan kejam Annisa berkata bahwa ia akan menyuruh Gariel untuk tinggal dirumah sampai ia bisa berjalan normal kembali jika cowok itu tidak mau diantar jemput. Dan karena ancaman itu, Gariel seketika bungkam. Ia tak mau kembali kerumah, bukan karena ada alasan atau kenangan buruk dirumahnya, ia hanya tak tega untuk meninggalkan apartemen yang selalu membuatnya nyaman. Terlebih sekarang sahabatnya juga tinggal bersamanya, jadi ia malah akan kesepian jika nanti tinggal dirumah bersama Mama dan Papanya yang pasti sibuk ngantor.
Valen tersenyum samar saat mengingat kejadian kemarin itu. Pacarnya itu langsung diam dibawah ancaman tante Annisa.
Hei, apa Valen baru saja menyebut Gariel sebagai pacarnya? Dengan kata kepemilikan? Oh god.
Lamunan Valen buyar saat pintu mobil sebelah kiri dibuka. Secepat kilat Valen langsung beralih kearah kiri mobil itu. Dilihatnya Gariel sedang berusaha berdiri diatas kruknya dengan kesusahan. Dengan cekatan cewek itu langsung membantu, meletakkan tangannya pada kedua kruk untuk membantu mengimbangi.
Gariel tersenyum tipis melihat Valen yang sudah ada didepannya, yang dengan sigap langsung membantunya untuk turun dari mobil walau agak sedikit kesusahan saat ia harus menurunkan kakinya yang masih digips.
"Makasih, pacar," ucap Gariel dengan sangat manis saat ia berhasil menapaki tanah.
Valen blushing, jangan tanya kenapa. Karena kalau kalian perempuan kalian pasti akan tahu sendiri alasannya.
Setelah Annisa pamit pulang, Valen dan Gariel segera masuk kedalam sekolah menuju kelas mereka. Dalam jarak hanya beberapa sentimeter Valen berjalan bersisian dengan Gariel yang sepertinya masih kesusahan menggunakan kruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
GALEN (SELESAI)
Roman pour Adolescents"Jadiin gue pacar lo!" Valen membeku dalam keterkejutannya. Menunduk dalam. "Maksud kamu?!" "Jadiin gue pacar lo, kalau itu bisa menebus rasa bersalah," jawab Gariel enteng. --------------- Ini adalah kisah tentang mereka yang sama-sama tak menyadar...