Valen berlari secepat yang ia bisa untuk mencapai mobil sang ayah. Air mata sekuat tenaga ia tahan agar tak keluar saat ini. Sedan hitam milik ayahnya sudah didepan mata. Valen berhenti sejenak untuk mengambil napas sebanyak yang ia bisa, lalu memperbaiki gurat wajah agar ayahnya tak tahu bahwa sang tuan putri sedang bersedih.
Bohong jika Valen berkata ia tak sedih setelah mendengar kalimat yang jelas-jelas berupa penolakan yang keluar dari bibir cowok pertama yang ia sukai. Namun ia tidak mau menangis atau bersedih dihadapan ayahnya. Karena takut sang ayah akan sangat khawatir. Selain itu, prinsip Valen mencegahnya menangis, walau jelas hatinya berkhianat di dalam. Prinsip itu ialah 'sebesar apapun rasa kecewamu, jangan pernah menitikkan air mata hanya untuk seorang lelaki'. Hal itu terus ia jaga, makanya ia tak mau dan tak akan mau menangisi hati karena lelaki yang bahkan belum tentu menjadi imamnya kelak.
Valen masuk kedalam mobil dengan muka yang dibuat seceria mungkin, dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.
Hartanto mengerutkan kening saat melihat putrinya yang sangat ceria tidak seperti beberapa hari belakangan. "Anak ayah senyumnya lebar sekali. Ada hal yang bikin kamu senang?" tanyanya tanpa tahu bahwa itu hanya tipu muslihat dari kesedihan sang putri.
"Senang bisa ketemu sama temen-temen lagi, Yah." Maafkan Valen jika kini ia berbohong pada ayahnya. Sungguh ia tak tahu alasan apa yang harus ia katakan pada sang ayah. Karena tak mungkin jika ia berkata bahwa sebenarnya ia sedang bersedih karena seorang laki-laki baru saja menolak rasanya. Bodoh.
"Kemarin aja harus dipaksa-paksa untuk sekolah, sekarang udah senang karena sekolah kan."
"Hehehe, iya, Yah." Usai mengatakan jawabannya, Valen merebahkan diri pada sandaran kursi dengan mata dipejamkan untuk mengurangi rasa panas pada matanya.
Hartanto menghidupkan mesin mobil, menarik persneling lalu melajukan mobilnya kearah yang sudah ia hafal betul jalannya. Selama perjalanan hanya diam yang mengisi. Hartanto sibuk dengan setir dihadapannya juga kemacetan yang sudah lumrah terjadi, sedang Valen sibuk menenangkan hatinya, Valen bahkan berpura-pura tidur disepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Untung ayahnya tidak curiga.
Waktu yang dihabiskan diperjalanan cukup lama apalagi sempat terhalang macet juga tadi. Setelah sampai dirumah sakit, Valen turun dari mobil diikuti sang ayah. Setelah mengatakan tidak bisa ikut masuk karena harus segera kembali ke kantor, ayahnya pamit dan kembali masuk kedalam mobil.
Saat mobil sang ayah tak lagi terlihat, Valen baru masuk kedalam. Puluhan langkah harus ia tempuh untuk kini berdiri didepan pintu ruangan yang sudah ia masuki puluhan kali dalam jangka waktu beberapa hari terakhir ini.
Valen membuka pintu, mengucapkan salam dan lalu masuk. Masih seperti saat kemarin ia tinggalkan, ruangan Gariel masih dipenuhi dengan suara mesin yang menandakan aktivitas jantung. Sepi. Hanya sosok diatas ranjang yang ada terlihat disini. Tidak ada orang lainnya. Valen menebak-nebak bahwa mungkin mama Gariel sedang pulang atau keluar sebentar.
Setelah meletakkan tas ranselnya di sofa dekat brankar, dengan pasti Valen mendekat kearah Gariel yang masih memejamkan mata. Valen menggenggam lembut tangan Gariel yang dipenuhi luka yang sudah kering. Ia yang melihatnya saja dapat merasakan bagaimana perih yang dihasilkan oleh luka tersebut. Lagi-lagi ia merasa bersalah pada Gariel, namun secepatnya ia tepis rasa itu.
Valen rasa dunia berputar dengan cepat disekitarnya, hingga tak terasa sejam lebih ia sudah berada didalam kamar ini dengan suara mesin yang beradu. Tak ada tanda-tanda perubahan dari cowok yang ia tunggui, membuat Valen menghembuskan nafasnya kecewa.
Berdiri dengan lesu, Valen mengambil sebuah baskom juga sehelai handuk kecil dari dalam lemari kecil disampingnya. Setelah mengisi air kedalam baskom dari kamar mandi ia kembali kesamping Gariel, bersisian dengan tali infus yang menggantung tinggi.
Valen mulai menyeka tubuh Gariel dengan handuk dan air hangat yang ia bawa. Mulai dari jari tangan hingga lengan, wajah bahkan ujung kaki cowok itu Valen seka dengan lembut. Seraya menjalankan tangannya disepanjang kulit Gariel, dalam hati Valen mengucapkan doa sebanyak yang ia bisa untuk kesembuhan cowok itu. Masih dengan sebelah tangan memegang handuk basah, Valen menarik napas sangat dalam saat dinginnya kulit Gariel terasa saat bersentuhan dengan kulitnya.
Setelah membersihkan tubuh Gariel, Valen terduduk di kursi samping brankar. Ia menatap wajah Gariel yang nampak sama sekali tak terganggu saat tadi ia membasuh dengan air hangat hingga saat ini tak berubah. Wajah tampannya penuh perban tapi entah kenapa tak mengurangi nilai ketampanan nyata pada wajah itu.
"Cepat sembuh," doa Valen. Kepalanya ia tundukkan, Valen terlungkup diatas lengan yang ia letakkan disamping lengan Gariel. Alam bawah sadar menyambutnya tak lama kemudian. Valen tertidur dengan damai. Napasnya terdengar teratur, bahunya juga naik dan turun dengan lembut.
Matahari sudah tenggelam saat Valen masih bergelut dalam lelapnya. Rembulan sudah datang untuk menggantikan posisi sang surya, cewek itu pasti tak menyadarinya. Tirai jendela yang dibiarkan terbuka tadi sore masih belum tertutup, hingga hamparan ribuan bintang di langit terlihat jelas dari jendela kamar Gariel yang langsung menghadap kearah gelapnya malam.
Tidur nyaman Valen tak berlangsung lama, karena saat ini tubuhnya sudah dipenuhi bulir keringat yang bahkan hampir menetes. Matanya masih terpejam, namun kening Valen mengernyit dalam dengan sangat ketakutan.
Valen ketakutan.
"Tolong."
"To-long Valen, Bunda!" Valen bahkan merintih dalam tidurnya. Bergerak tak nyaman, masih dengan mata yang terpejam. Sudut mata cewek itu mengeluarkan setitik air mata.
"Hikss. Bundaaa. Ayahhh."
"Valen takut. Hikss."
Dan kini Valen terisak. Ketakutan jelas terdengar dari suaranya yang parau. Air mata mengalir dengan deras tanpa penghalang apapun hingga menyentuh pipi dan jatuh di lengannya.
Mimpi yang sama, dalam waktu yang baru. Setelah sejak terakhir kali ia bermimpi hal yang sama, beberapa hari sebelum Gariel pindah ke sekolahnya, kini Valen kembali memimpikan mimpi yang selalu sama. Mimpi itu masih terasa nyata. Napasnya selalu tercekat saat memimpikan hal ini. Mimpi terburuk diantara semua mimpi buruk yang pernah ia mimpikan. Jika boleh memilih Valen akan lebih memilih memimpikan hal buruk lainnnya, asal bukan mimpi yang ini, mimpi nyata yang pernah ia alami. Mimpi yang sebenarnya adalah kenangan buruknya.
Mimpi saat Valen diculik, dulu.
Valen menangis. Valen terisak.
Elektrokardiograf yang kabelnya terhubung ke tubuh Gariel terdengar bersuara tak teratur. Dengan cepat, dan kemudian melambat dengan drastis. Tubuh Gariel kejang-kejang. Hanya sesaat, karena setelah itu semuanya kembali normal. Tubuh Gariel tak kejang lagi, mesin berbentuk kotak yang menampilkan garis-garis naik turun itu kembali bergerak normal.
Valen tak terbangun, meski ranjang Gariel bergetar dengan hebat saat cowok itu kejang tadi. Valen masih bergelut dalam mimpi buruknya. Gurat khawatir penuh ketakutan masih tergambar jelas di wajah gadis yang masih tidur terlungkup diatas lengannya itu.
Merasa kepalanya ada yang menggoyang dengan pelan, anehnya Valen terbangun. Masih dengan kepala tertunduk, rasanya sangat berat untuk membuka mata, seakan ada yang mengganjal dikelopak matanya. Valen sadar mungkin itu efek karena ia menagis dalam tidurnya. Ia sudah biasa seperti itu. Terbangun dengan mata bengkak dan sembab bahkan dengan bekas air mata yang mengering disepanjang pipinya.
Valen mengucek matanya pelan. Mengangkat kepalanya dan kemudian duduk dengan tegak. Pandangan Valen masih kabur. Pupilnya membesar saat menyadari sesuatu setelah matanya dapat melihat dengan jelas tanpa air mata yang menghalau.
"Gariel!?"
Valen kembali menangis ketika melihat wajah cowok dihadapannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
GALEN (SELESAI)
Teen Fiction"Jadiin gue pacar lo!" Valen membeku dalam keterkejutannya. Menunduk dalam. "Maksud kamu?!" "Jadiin gue pacar lo, kalau itu bisa menebus rasa bersalah," jawab Gariel enteng. --------------- Ini adalah kisah tentang mereka yang sama-sama tak menyadar...