Hanna menggelengkan kepalanya setelah mendengar cerita dari Erina, dia sudah menduga hal itu sejak awal, tidak mungkin jika salah satu diantara mereka tidak ada rasa dan yang lucu sebenarnya mereka berdua memiliki rasa yang sama.
"Yang satu gengsi karena mikir nggak akan pernah jatuh Cinta sama cewek yang umurnya jauh lebih mudah dan yang satunya masih sibuk menata hati."
"Gue?" tanya Jocelyn bingung.
"Bukan tetangga gue. Ya lo lah oon."
Erina menghembuskan napas kesal, yakin temannya itu lang berpura-pura bodoh jika dinasihati, dia selalu seperti itu. "Kalau lo belum yakin, putuskan sampai di sini."
"Lah kan belum pacaran."
Hanna langsung menoyor dahi Jocelyn. "Pura-pura bego terus, di sini gue sama Erina tuh nyoba buat bantu, stop dulu main-mainnya, lo pikir cuma hati lo aja yang penting?"
Jocelyn menyentuh dada kirinya mendengar kata-kata menohok dari Hanna. "Ya ampun Han, kalau ngomong suka nusuk."
Ketiganya sedang berada di kantin kampus, duduk di meja paling pojok agar tidak menarik perhatian, karena mereka tahu suara mereka agak terlalu keras dan bisa menarik perhatian.
"Gue nggak tau Han, gue bingung sama perasaan gue, setelah putus waktu itu hati gue kayak mati rasa, paham nggak sih? Kayak lo lagi nggak mau ada hubungannya apa-apa sama orang lain, tapi gue nggak bisa bohong soal kalau gue juga ada rasa, tapi kalau soal hubungan yang lebih gue nggak mau."
"Ya karena lo selama ini selalu bersikap bodo amat, lo. Nggak pernah cerita apa-apa, pendam semua sendiri, setiap gue tanya lo selalu ngalihin perhatian."
Erina menyentuh tangan Jocelyn. "Dari awal lo selalu anggap kalau pacaran cuma untuk main-main aja, kalau putus ya udah tinggal cari yang baru, selalu begitu. Tapi lama-lama lo ngerasainkan gimana sakit hati yang lo timbun sendiri?"
Jocelyn menyendu. "Makanya sekarang gue nggak bisa berada di dalam hubungan kayak gitu lagi."
"Lo harus sembuhin hati lo dulu, tapi lo harus bilang langsung, urusan kak Yuta nyerah atau dia mau nunggu sampai hati lo sembuh, urusan belakang." Erina menepuk-nepuk bahu Jocelyn.
"Kalau bukan dia mungkin orang lain, bisa jadi rasa nyaman lo sekarang, nggak bisa lo jadiin patokan. Terus untuk dia mungkin karena dia merasa tertantang, lo selalu bisa balas ucap atau tingkah konyol dia."
"Terus gue harus ngomong apa?"
"Lo tanya langsung mau dia apa, Kalau lo nggak bisa kabulin, jangan buat dia nunggu juga, aduh. Makanya kalau mau bercanda ya jangan pakai hati." mulut Hanna akhir-akhir ini semakin licin saja kalau soal Jocelyn.
"Tadinya juga mau begitu, lah kok tapi nyaman."
"Bodoh!"
Hanna mencibir, sementara Erina mendelik kesal, susah memang kalau mau kasih perhatian sama Jocelyn, malah bikin sebel sendiri.
~
Erina melihat suaminya itu sedang menonton acara TV dengan wajah tidak minat, tapi sungguh gadis itu tidak pernah pernah sadar sebelumnya jika Theo tidak pernah memegang ponsel nya sama sekali saat sedang berada di rumah, mungkin hanya saat ada panggilan masuk saja, setelah itu ponselnya hanya tergeletak begitu saja di atas meja yang ada di dalam kamar.
Jadi dengan segala keberanian Erina ingin meminta agar laki-laki itu meminjamkan ponselnya. "Kak, Erin pinjam ponsel kak Theo boleh?"
Laki-laki itu menoleh dengan wajah bingung, namu tanpa berkata apapun langsung mengambil ponselnya dan menyerahkannya kepada Erina.
Gadis itu menekan tombol power, melihat layarnya terkunci dengan walpaper foto pernikahan mereka berdua. "Erin baru tahu kalau kakak pakai wallpaper nya foto ini, terus ini password nya apa?"
"Saya ganti beberapa waktu lalu, password-nya." laki-laki itu menunjuk ke arah Erina. "Tanggal ulangtahun kamu."
Erina mengerutkan menekan tombol-tombol yang ada di layar, ternyata benar-benar dijadikan sebagai password. "Kenapa harus tanggal ulangtahun Erin?"
"Biar ingat terus."
Erina memutar matanya malas, dia tidak tahu ini termasuk gombalan atau bukan karena wajah laki-laki itu selalu terkesan serius. Lalu dia kembali melihat wallpapernya sudah terganti, sekarang menunjukkan dirinya yang sedang tertidur.
"Kak! Ih masa foto Erin lagi tidur! Jelek banget!" gadis itu memukul pelan lengan suaminya. "Ganti!"
Theo menggelengkan kepalanya. "Cuma saya yang lihat."
"Kan bisa foto yang Bagus! Kenapa harus ini?" Erina masih tidak bisa mengerti.
"Kamu kelihatan lucu, biarkan saja Erina jangan diganti."
Erina memutar matanya malas. "Selera kak Theo aneh banget!" lalu menyingkirkan hal itu, Erina mulai menggeser-geser layar ponsel Theo. "Ih nggak ada aplikasi buat foto, Erin download ya?"
Theo menganggukkan kepalanya, dia tidak akan menolak karena dia senang-senang saja kalau ada lebih banyak foto gadis itu di dalam galeri ponselnya. Walau sebelumnya dia sama sekali tidak pernah kepikiran hal ini akan terjadi, hal-hal kecil seperti itu tidak pernah terpikirkan sebelum bersama istri kecilnya itu.
"Erin kayaknya udah harus ganti ponsel deh, udah empat tahun nggak ganti," celetuk gadis itu
"Mau cari saat hari libur?" tanya laki-laki itu.
Erina menoleh, "Ya nggak buru-buru juga, nanti Erin kumpulin uang dulu biar bisa beli yang Bagus."
Theo menghela napas. "Saya belikan Erina, nanti kamu tinggal pilih mau yang mana."
"Nggak perlu kak, Erin nanti juga masih punya banyak waktu buat ngumpulin uang, nggak buru-buru kok."
Laki-laki itu menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Erina, hingga keduanya berdampingan. "Kenapa kamu selalu menolak kalau saya mau membelikan kamu sesuatu."
Dia meletakan ponsel Theo di atas ranjang, lalu menyandarkan kepalanya pada bahu laki-laki itu. "Bukan begitu, Erin kan masih bisa beli sendiri, kalau nabung juga itu kan uang dari kak Theo, sama saja kak Theo yang beliin kan?"
Theo merangkul gadis itu, menghirup aroma manis yang selalu ia cium saat berada di dekat Erina, lalu mengecup pelipisnya. "Kamu kan bisa pakai buat yang lain, dari awal saya sudah bilang kan?"
"Iya tapi …."
Ucapan Erina terhenti saat telapak tangan besar itu menyentuh pipi kiri Erin dan menarik dengan lembut hingga dirinya menoleh menatap laki-laki itu, Theo sedikit menundukkan kepalanya.
Laki-laki itu berbisik. "Karena saya Cinta sama kamu, saya jadi ingin memberikan semuanya hanya untuk kamu, apapun yang kamu mau, pasti saya akan berikan."
Erina merasakan sinyal-sinyal berbahaya saat tiba-tiba Theo mulai mengatakan hal-hal manis seperti itu dan benar saja laki-laki itu langsung mendorong tubuhnya hingga sepenuhnya berbaring di atas ranjang, sementara laki-laki itu berada di atasnya.
Saya sudah tidak tahan jika sudah berdekatan dengan kamu. Erina ingat laki-laki itu terus mengatakan hal yang sama, padahal mereka selalu berduaan.
"Kita bicarakan nanti lagi ya? Saya mau melakukan hal lain dulu."
Tentu saja Erina juga tidak akan menolak, kalau hanya sekedar ciuman saja, karena akhir-akhir ini intensitas hubungan mereka terus meningkat, namun laki-laki itu juga menahan diri agar tidak terlalu jauh, karena memikirkan kondisi Erina.
Mungkin besok pagi akan ada beberapa masalah seperti bekas memerah yang tidak bisa ditutupi dengan bajunya.
~~~~~~~~~~~~
Ampun dah lumutan ini buku wkwkwk
Maap ya di gantung begitu aja, soalnya kemarin-kemarin malah lagi mood di cerita sebelah.
Keknya bentar lagi aku bakal tamatin, takut nggak keburu karena sebentar lagi bakal sibuk :")
Sabar menunggu ya
Btw kalau semua vote sudah 90
Aku lanjut lagi! Terimakasih sudah membaca!
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN [KTH] [On Going]
Fanfic[𝘙𝘰𝘮𝘢𝘯𝘤𝘦/𝘊𝘰𝘮𝘦𝘥𝘺/𝘋𝘳𝘢𝘮𝘢] 𝘌𝘳𝘪𝘯 𝘬𝘪𝘳𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘪𝘬𝘢𝘩𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘛𝘩𝘦𝘰 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘴 𝘣𝘦𝘳𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘮𝘶𝘭𝘶𝘴, 𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘪𝘬𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘩𝘢...