HF 21| Crocodile

4.8K 289 16
                                    

Gais. Happy 1,5k reads. Cerita pertamaku yang bisa nembus views segitu saat masih on going wkwk. Jadi biarkan saja ya aku norak. :v

Happy reading~~

*****

Pukul 06.00 pagi, Saga sudah berada di rumah orang tua Khansa. Cowok itu duduk  di meja makan karena Luna tidak membiarkannya membantu apapun.

"Khansa masih mandi, Ga. Tunggu aja ya, kamu sarapan dulu." Luna berucap sambil sibuk menata sarapan di atas meja.

"Iya, Ma."

Setelah kejadian Saga mencium Khansa kemarin, cewek itu langsung mengusirnya dan menolak pulang ke rumah mereka.

Segala bujukan Saga ditolak mentah-mentah oleh Khansa. Saga juga tidak bisa bermalam disana karena pekerjaan kantornya kemarin sangat banyak akibat membolos masuk kerja.

Entah mengapa dunia Saga kosong semalam karena tidak ada Khansa di sekitarnya. Biasanya cewek itu akan caper ke kamarnya hanya untuk menanyakan ini itu kalau Saga sedang sibuk dengan pekerjaannya. Semalam, rumah mereka sangat sunyi tanpa ada Khansa di dalamnya.

Saga suka sepi. Harusnya ia senang karena semalam bisa terbebas dari gadis cerewet itu. Tapi, hatinya berkata ia membutuhkan Khansa disekitarnya sampai semalam tidak fokus karena memikirkan gadis itu yang tidak kunjung membalas pesan-pesannya.

"Ga?" panggil Luna karena melihat Saga melamun sambil memerhatikan pintu kamar Khansa yang masih tertutup.

Saga tersentak. "Iya, Ma?"

"Mama panggil dari tadi kamu gak nyahut. Ayo makan," suruh Luna.

"Aku tunggu Khansa aja, Ma."

"Nggak usah. Makan duluan aja," sahut Luna yang dibalas anggukan oleh Saga.

Setelah Saga menyendok nasi goreng ke piringnya, suara pintu kamar terbuka. Saga mengangkat kepala dengan semangat dan mendapati Papa mertuanya berjalan ke arah mereka. Saga tidak sadar menghela napas pelan.

"Pagi, Ga," sapa Samuel pada Saga.

"Pagi, Pa," balas Saga kemudian berdiri untuk salim kepada Samuel.

"Masih marahan nih?" goda Samuel setelah ia duduk di kursi. Pria paruh baya itu tertawa kecil ke arah Saga.

"Aku gak marah. Cuma Khansa yang ngambek," ralat Saga.

"Oh gitu." Samuel mengangguk-angguk. "Berat ya Ga nikah muda?" tanya Samuel serius sambil menerima piring dari istrinya.

"Jujur, berat Pa. Tapi udah terlanjur juga, dan aku bersyukur karena istri aku Khansa."

"Kenapa gitu?" tanya Samuel lagi.

"Aku bilang gini bukan karena Papa sama Mama orang tua Khansa. Tapi, aku jujur sama apa yang aku rasain selama tiga bulan ini bareng Khansa," jelas Saga.

Samuel mengangguk. Memilih diam menunggu kembali ucapan Saga.

"Aku orangnya kaku, gak suka suara berisik, suka menyendiri, kadang tanpa sadar omongan aku nyakitin perasaan orang lain. Tapi, selama ini Khansa ngertiin sifat aku yang itu. Dia gak pernah protes sama diamnya aku. Malah, dia selalu ngajak aku ngomong hal-hal random agar aku ngomong lebih banyak.

Aku gak tahu kalau orangnya bukan Khansa. Mungkin dia bakal ninggalin aku karena gak tahan sama sifat aku. Tapi Khansa selalu sabar, aku yang diam dia yang minta maaf." Saga menarik napas panjang. Semalam cowok itu memikirkan semua perlakuannya selama ini. Dan, menyesalinya.

"Khansa ada disekitar aku buat hidup aku yang dulunya hanya mengenal warna hitam, putih, abu-abu, sekarang lebih mengenal banyak warna. Tanpa sadar, aku sangat membutuhkan Khansa."

Hello, Future!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang