sepuluh

272 51 5
                                    

"Bu, pulang yuk..."

Entah ini untuk yang ke berapa kali aku membisikan kalimat itu kepada Ibuku.

Ibu terlihat melirikku tajam dan menjauhkan lengannya yang tadinya kugunakan untuk bersandar manja.

"Kamu ini! Lihat itu, Mas-mu lagi kesakitan gitu malah minta pulang!" Omelnya.

Bibirku manyun dan pasrah. Andai Ibu tahu kalau aku sangat ingin pulang karena tubuhku rasanya capek. Seharian kerja rodi di pabrik—bahkan tadi siang aku meninggalkan istirahat dan tetap bekerja.

Saat ini aku dan Ibu tengah berada di Rumah Sakit perkotaan Tegal—menjenguk Mas Nando yang kabarnya mengalami kecelakaan tunggal. Ibu yang mendapat kabar sore tadi bahwa anak sulungnya kecelakaan langsung memintaku untuk mengantarnya ke Rumah Sakit.

Keadaan sore tadi cukup miris. Ninid lembur karena harus mengikuti les tambahan—alhasil aku pulang nebeng Randa, itu pun harus pake ancaman dulu karena Randa sempat menolak ketika aku minta tebengan. Sedang Bapak kebetulan lagi pergi ke Brebes menggunakan motornya.

Kami bingung akan menggunakan apa untuk pergi ke Rumah Sakit. Nggak ada kendaraan lagi. Tapi untungnya, disaat genting seperti itu, ada tetangga yang memberi kami tumpangan menggunakan angkutan umum yang sama-sama akan melakukan perjalanan ke perkotaan Tegal.

Dan disinilah kami berada. Duduk bersebelahan dan memandang Mas Nando yang kakinya lecet-lecet dan lengan kiri terlihat menyedihkan. Di perban penuh.

Mas Nando melirikku. "Emang tadi kalian kesini naik apa?"

"Nebeng angkutannya Kang Karyo." Jawab Ibu.

"Ndis, si Ina di rumah Mamamu, apa Mamamu nggak kerepotan?" tanya Ibu sok perhatian.

"Nggak kok, Bu. Kebetulan Mama lagi nggak terlalu sibuk." Jawab Mbak Gendis sopan.

"Ibu jadi nggak enak. Kalo sekiranya merepotkan atau butuh bantuan, bilang aja ya, Ndis?"

"Iya, Bu. Kalo Ina dititipkan ke Ibu, nanti Ibu pasarnya gimana?

"Ya nanti Ibu suruh Ning nggak usah berangkat kerja dulu gitu. Nanti Ning yang momong Ina. Ina kan juga cucu Ibu."

Asem! Ngasih solusi malah ngelemparin beban ke aku! Dikira ambil libur di pabrik segampang menyisir rambut, apa?

"Bu, ayo pulang..."

"Ibu pulangnya nanti, Ning. Nunggu Dokter periksa Mas-mu." Jawab Ibu keukuh. "Kalo kamu mau pulang, sana pulang pake Ojek. Itu tadi di depan banyak tukang ojek pada mangkal," lanjutnya memberi saran.

"Yaudah, tapi anterin kedepan. Omongin ke tukang ojeknya."

"Emang kamu bisu segala minta Ibu yang ngomong?"

Ya Allah, mulut Ibuku jahanam sekali.

"Bukan gitu. Maksud aku, kalo orang tua yang ngomong kan biasanya mereka santun. Kalo Ning tiba-tiba dibawa pergi sama tukang ojeknya terus dijual, gimana?"

Ibu menarik tanganku dan membawaku keluar dari ruang rawat yang diisi oleh lima pasien. "Dijual, emang ada yang mau beli kamu?!" Cerocosnya masih dengan menggandeng tanganku—entah kemana.

"Bu, kita mau kemana?" Tanyaku disela-sela jalan.

"Katanya mau dianterin ke tukang ojek?"

"Ooh iya, sekalian dibayari ya."

"Semprul kamu! Mentang-mentang—" ucapan Ibu terhenti entah karena apa. Langkahnya juga berhenti.

Aku memandang wajahnya dengan kernyitan dalam. "Kenapa berhenti, Bu?" Tanyaku yang nggak di respon.

All About Me and Him!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang