Bu Bidan menyuruh Mas Dhanu dan aku untuk berkunjung. Hampir dua pekan aku nggak berkunjung ke rumah mertuaku. Aku selalu menolak kalo Mas Dhanu ngajak kesana. Tapi kali ini, kayaknya aku harus nurut. Karena Mas Dhanu bilang, ada sesuatu yang mau Ibunya kasih ke aku. Aku tebak sih, paling oleh-oleh dari ziarah Walisongo kemarin.
"Iyaa..." sahutku ketika suara ketukan pintu dari luar menyuruhku untuk buru-buru. Ish! Ini nih alasan aku males bepergian sama dia. Nggak sabar menunggu!
Nggak kayak suaminya Ambar yang meskipun posesifnya luar biasa tapi dia selalu ngertiin Ambar. Bahkan Ambar bikin alis setengah jam saja Mas Agus setia nunggu. Lhah si Dhanu, padahal sesi dandanku cuma butuh 10 menit tapi dia sudah ketuk pintu nggak sabaran.
Akhirnya aku menyambar slingbag dan keluar.
"Besok-besok nggak usah dandan kalo pergi." Katanya saat aku akan melangkah melewatinya.
Sontak kepalaku melirik ke arahnya. "Kenapa?"
"Lama." Jawabnya kemudian pergi mendahului.
Diih. Untung yang jadi istrinya dia itu aku, bukan Ashanti.
Setibanya di rumah Bu Bidan, seperti biasa yang menyapaku secara ramah Pak Kunco sama Tata. Sedangkan Bu Bidan, dia langsung rangkul-rangkul anak semata wayangnya sambil nawarin mau makan apa nanti. Yaa.. aku sih, sebagai anak tengah, jujur iri lihatnya. Karena, dari dulu Ibu lebih sering manjain Mas Nando dan Ninid. Tapi kalo bagian suruh menyuruh, Ibu selalu nunjuk aku.
"Gimana kabarmu, Ning?" Suara Pak Kunco membuatku melepas pandangan Mas Dhanu yang lagi di peluk-peluk Bu Bidan. Aku tersenyum segan menanggapi pertanyaannya. "Alhamdulillah, Abah."
Pak Kunco mengangguk-anggukkan kepala. Saat ini kami sedang duduk bersama di ruang tengah. "Kemarin waktu ziarah, saya salut loh sama Bapakmu, Ning. Dia—walaupun kakinya sakit tapi waktu di sunan muria jalannya paling semangat loh. Abah saja kalah."
"Iya, Bah. Bapak emang dari dulu paling semangat kalo ziarah gitu. Dulu sering juga ikut rombongan ziarah Walisongo di desa lain."
"Waaalah.. serius? Hebat Bapakmu! Nanti kapan-kapan saya mau ikut lah."
Aku mengangguk memberi persetujuan. "Nanti Ning kasih tau ke Bapak ya, Bah."
"Eh iya, Mamanya Dhanu mau ngasih sesuatu ke kamu katanya. Coba gih kamu samperin dia. Lupa tuh pasti dia, keasyikan ngobrol sama Dhanu."
"E—nanti saja, Bah."
"Sekarang, mereka lagi di meja makan. Abah mau ke luar sebentar soalnya. Abah tinggal ya, Ning?"
Waduh! Bisa-bisa aku mati dihakimi kalo nggak ada Pak Kunco di rumah ini.
"Iy—iya udah, Ning ke dapur dulu ya, Bah."
"Iya, silakan."
Aku berjalan pelan melewati Pak Kunco. Di tengah jalan, nggak sengaja aku ketemu Tata lagi cari sesuatu di kardus sudut dinding. Aku mencolek punggungnya. "Cari apa kamu, Ta?"
Tata ngelirik kebelakang sekilas. "Cari obat biar kamu cepet hamil!"
Serta merta aku langsung mencubit keras lengannya. "Kalo ngomong cocote dijaga!" Bisikku.
"Sialan kamu, Ning! Wong aku ngomong bener kok. Aku emang lagi cari buah Parijoto buat kamu, biar kamu cepet nganak!"
Sekali lagi aku mencubit lengannya. "Ngomong maning coba!"
"Lhah, nggak percaya ya sudah. Nih, buahnya. Sudahlah, aku mau ke Bu Tika dulu." Katanya memamerkan sesuatu yang katanya bernama buah Parijoto. Tapi menurutku itu lebih mirip kaya bunga-bungaan yang sering di pake bocil buat main masak-masakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
All About Me and Him!
General FictionAku malas dengan pelajaran Matematika sejak SD sampai lulus SMK, aku tidak suka Guru Matematika dan aku benci Mas Dhanu! Mas Dhanu, pria sok cool yang kebetulan di utus Tuhan untuk melihat rambut kepalaku disaat aku sudah ber-nadzar di hadapan yang...