"Saya turun di gerbang perumahan depan, Pak." Kataku pada sopir angkot sambil menyiapkan uang receh untuk membayar.
Jam setengah enam sore aku baru sampai di rumah. Selama pindah di rumah Mas Dhanu, aku memutuskan untuk rutin berangkat dan pulang naik angkot. Sebenarnya motor Mas Dhanu yang sering aku pake untuk berangkat ada, tapi lebih enak pake angkot tinggal duduk manis tau-tau sampai depan pabrik. Dekat juga dengan lokasi pabrikku. Tinggal lurus sebentar terus sampai.
Melewati satpam penjaga, aku menyapanya dengan ramah. Aku menghembuskan napas lega begitu sampai di teras rumah. Membuka sepatu malas-malasan kemudian masuk ke dalam rumah. Pintanya nggak di kunci, kayaknya Mas Dhanu sudah pulang.
Baru akan melewati ruang nonton, aku dikejutkan oleh suara Mas Dhanu.
"Iya Sayang, janji aku temenin kamu beli heels."
Bukan sekali ini aku mendengarnya berbicara dengan seseorang di telepon dan menyebut 'Sayang' pada si lawan bicara di teleponnya. Ini kali kedua. Yang pertama waktu subuh-subuh aku bangun dan memergokinya di dapur.
Jujur, untuk yang satu ini aku nggak mau terlalu ikut campur. Mau dia punya pacar sepuluh pun nggak akan kupedulikan. Tapi yang jadi pertanyaan dan bikin aku kadang bingung itu, memangnya ada yang mau sama Dhanu Mahesa?
Aku mengangkat bahu acuh. Sambil memegangi bahu kanan—nggak tau kenapa akhir-akhir ini sering nyeri, aku melewati Mas Dhanu yang masih duduk di sofa setelah mengakhiri teleponnya.
"Sejak kapan kamu pulang?"
Tubuhku berbalik melihatnya yang berdiri dan menghampiriku dengan raut terkejut.
"Sejak Mas Dhanu ngomong 'Iya Sayang, janji aku temenin kamu beli heels'." Jawabku menirukan suaranya yang sok lembut tadi.
Wajah Mas Dhanu semakin nggak bersahabat. "Jangan tanya tentang hal itu. Apapun itu!"
Lho, bukannya justru tadi dia yang tanya?
Aku menghembuskan napas pendek terang-terangan. Siapa pula yang mau tanya-tanya. "Nggak kok. Aku orangnya nggak kepoan." Jawabku kemudian berjalan meninggalkannya.
Masuk ke kamar, tanpa menunda waktu aku langsung bersiap untuk mandi agar bisa cepat tidur.
Ngomong-ngomong, tinggal di rumah Mas Dhanu ternyata nggak semelelahkan yang aku bayangkan. Bayanganku dulu, sebelum berangkat menyiapkan sarapan untuknya, nyapu lantai dulu terus berangkat kerja. Kemudian pulang kerja, bukannya mandi malah langsung ke dapur untuk masak makan malam. Eh, malah kenyataannya, aku jarang masak dan bersih-bersih disini.
Sama seperti waktu masih tinggal bersama Orangtuanya, Mas Dhanu memang sepertinya makhluk hidup yang nggak suka makan. Dia makan kalo lagi benar-benar laparrrr banget. Itupun alih-alih menyuruhku masak, dia justru delivery order.
Dan beres-beres. Dia ada benarnya juga. Beres-beres nggak harus dilakukan setiap hari, termasuk nyapu. Tinggal berdua ternyata nggak terlalu bikin lantai cepat kotor. Jadi aku nggak harus nyapu setiap hari.
"Saya lapar, buatkan saya nasi goreng. Jangan pedas." Hampir saja aku memecahkan cangkir di tanganku akibat terkejut mendengar suaranya yang tiba-tiba itu.
Tubuhku berbalik dan mendapati sosoknya berdiri di dinding pembatas dapur dan ruang makan.
Baru juga di sanjung nggak suka makan, malah tiba-tiba menyuruhku bikin nasi goreng disaat badanku hari ini lagi capek-capeknya. Jadi begini, tadi pagi aku lebih banyak mermak riject jahitanku daripada produksi. Sialan memang otakku, kerja bukannya bikin hasil malah bikin riject. Untung cuma kena semprot omongan nyelekit dari leader, bukan dikasih SP.
![](https://img.wattpad.com/cover/276895263-288-k314795.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
All About Me and Him!
Художественная прозаAku malas dengan pelajaran Matematika sejak SD sampai lulus SMK, aku tidak suka Guru Matematika dan aku benci Mas Dhanu! Mas Dhanu, pria sok cool yang kebetulan di utus Tuhan untuk melihat rambut kepalaku disaat aku sudah ber-nadzar di hadapan yang...