Akhir-akhir ini aku malas jika Ninid mengirimkan pesan singkat untuk memintaku berkunjung ke rumah. Ya, aku malas pulang ke rumah. Itu karena Ibu selalu menanyakan apakah aku sudah hamil apa belum. Ya ampun. Jangankan hamil, di unboxing saja aku belum. Eh, tapi aku belum mau punya anak dulu. Apalagi anak dari pabrik Mas Dhanu. Jangan dulu. Aku belum ridho rahimku memproduksi keturunannya.
Minggu pagi ini, Ninid sudah meneleponku dua kali tapi sengaja aku abaikan. Dia juga kirim pesan WA beberapa kali yang hanya aku baca sekilas. Biarlah. Lebih baik aku duduk manja sambil nonton tv di ruang tengah daripada main ke rumah Ibu yang berujung akan dibanding-bandingkan dengan Ambar, karena Ambar sudah hamil.
"Weekend begini, kamu nggak kemana-mana, Ning?" Pak Konco barusan lewat dan berdiri di sampingku.
"Hehe, mboten, Bah. Lagi pengin istirahat di rumah saja." Jawabku gugup. Ya ampun, sudah mau lima bulan hidup di rumah ini tapi aku masih saja gelagapan kalo ditanya sama orangtua Mas Dhanu.
Tubuhku terkesiap ketika tiba-tiba saja nggak ada angin nggak ada hujan, Pak Kunco duduk di sebelahku. Secara spontan aku menggeser letak dudukku.
"Nggak pengin main ke rumah orangtuamu? Apa nggak kangen?"
"Eumm.. hari ini nggak dulu, Bah. Kalo kangen, ya pastinya kangen."
"Kalo kangen ya samperin dong, main kesana sama Dhanu. Kemarin Abah ketemu Bapak kamu di toko, dia tanya kenapa anak gadisnya belakangan jarang berkunjung. Bapakmu rindu kamu, Ning."
Kalo untuk Bapak, jujur aku kangen berat dengan beliau. Tapi aku nggak bisa kesana karena malas ketemu Ibu dengan segala pertanyaannya.
"Nan—nanti Ning main kesana, Bah." Jawabku agar semuanya cepat selesai dan Pak Kunco bergegas pergi dari sampingku. Karena jujur saja aku masih segan jika harus duduk sampingan dengan beliau.
"Nanti kapan? Nanti siang?"
Ya nggak nanti siang juga kali. "Nanti minggu depan inshaAllah. Harus tanya ke Mas Dhanu dulu soalnya."
"Kenapa harus nunggu minggu depan? Kenapa nggak sekarang saja? Dhanu ada di rumah, dia lagi ngegame di kamar kan? Coba kamu tanya sekarang saja sama dia. Kalo nggak di bolehin nanti saya yang turun tangan."
"Tapi Bah—"
"Kamu takut Dhanu nggak kasih izin?"
"Buk—bukan begitu. Ning cuma—"
"Kalo begitu biar Abah yang minta izin ke Dhanu. Abah nggak enak hati kalo kamu jarang main ke rumah orangtuamu, Ning. Nanti dikiranya Abah merebut anak perempuan mereka."
Aku yang panik tentu bingung harus menanggapi bagaimana. Kenapa jadi begini sih! Alasanku jarang berkunjung ke rumah sendiri kan karena Ibu, bukan karena Abah atau keluarga Mas Dhanu nggak kasih izin.
"Ya—ya sudah, Ning ke Mas Dhanu dulu ya Bah. Mau siap-siap main ke rumah Bapak." Akhirnya aku memilih jalan yang salah. Setelah mendapat anggukan dari Abah aku bergegas lari ke kamar.
Masuk ke kamar kulihat Mas Dhanu lagi duduk di balkon kamar. Kayaknya dia lagi telpon sama seseorang. Karena aku adalah Ningsih Ayumi yang selalu ingin tahu dan penasaran akhirnya aku menghampirinya dan berdiri di pintu kaca belakangnya.
"Iya, kamu jaga diri baik-baik, ya. Jangan telat makan. Iya, iya." Itu suara Mas Dhanu. Entah dia telpon dengan siapa yang jelas nada suaranya sangat lembut dan baru kali ini aku mendengar suara teduhnya.
"Aku tutup telponnya ya? Nanti aku hubungi lagi. Iya, nanti malam. Bye." Aku melebarkan mata melihat tubuhnya bergerak berdiri dari tempat duduknya. Buru-buru aku lari dan duduk di tepi ranjang seolah tak tau apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
All About Me and Him!
Fiction généraleAku malas dengan pelajaran Matematika sejak SD sampai lulus SMK, aku tidak suka Guru Matematika dan aku benci Mas Dhanu! Mas Dhanu, pria sok cool yang kebetulan di utus Tuhan untuk melihat rambut kepalaku disaat aku sudah ber-nadzar di hadapan yang...