tiga puluh dua

319 33 8
                                    

Sudah sebulan semenjak berduka. Dhanu cukup takjub dengan sikap Ningsih yang terbilang cukup cepat move on dari rasa dukanya setelah kehilangan sang Ayah. Sebagai anak semata wayang, Dhanu merasa iri dengan sikap kedewasaan Ningsih. Andai dia yang berada di posisi Ningsih, mungkin butuh waktu berbulan-bulan untuk memulai hidup baru dan bangkit dari rasa sedihnya.

"Mas, ada yang mau aku bicarakan." Ujar Ningsih tiba-tiba. Saat ini keduanya tengah menikmati makan malam bersama di meja makan. Pemandangan yang jarang sekali terjadi. Itupun karena Dhanu yang memaksa. Pria itu tidak mau Ningsih terlihat menyedihkan makan sendirian. Entahlah, padahal sudah menjadi kebiasaan makan sendirian.

"Apa?" Dhanu menyahut setelah menyelesaikan makanan di mulutnya.

"Aku—mungkin akhir-akhir ini atau bahkan seterusnya bakal sering ke rumah Ibu dan nginep disana."

Dhanu mengangguk tanda dia memberi izin.

"Sama aku mau minta izin, bulan depan rencananya mau daftar kerja lagi di pabrik yang lama."

Kali ini Dhanu tidak menanggapi apa-apa untuk beberapa detik. Dia diam dan hanya melihat Ningsih yang kelihatan gelisah menanti jawabannya. "Daftar kerja? Memangnya uang yang saya kasih ke kamu setiap bulan masih kurang?"

Cepat-cepat Ningsih menggeleng. "Bukan begitu."

"Terus?"

Tatapan intens Dhanu membuat Ningsih ragu untuk menjelaskan. "A—aku, aku harus kerja. Mas Dhanu sudah melihat keadaan Ibu kan? Ibu masih belum bisa bangkit, Mas. Dia belum punya semangat buat jualan lagi. Dan, nggak mungkin Mas Nando yang harus menuhin kebutuhan Ibu dan Ninid. Aku juga sebagai anak harus ikut membantu. Apalagi sekolah Ninid—"

"Kamu sekarang ada pegangan uang kan?" Sela Dhanu tak mau menunggu Ningsih menyelesaikan penjelasannya.

"Tapi kan, itu uang Mas Dhanu." Ningsih menjawab dengan suara cicitan.

"Itu sudah menjadi milik kamu. Kamu bisa menggunakan uang itu untuk kebutuhan Ibu dan Ninid. Bila perlu, Ibu sama Ninid tinggal disini sekalian. Soal sekolah Ninid, bukankah sudah kita sepakati dari dulu?"

Dada Ningsih seperti di cubit keras oleh sesuatu. Ucapan tegas Dhanu membuatnya terharu. Perhatian pria itu untuk keluarganya tidak maen-maen. Hanya saja, Ningsih cukup tau diri untuk tidak terlalu serakah menerima apa yang sudah di tentukan suaminya itu. Ningsih tidak mau terlalu bergantung pada siapapun.

Jadi Ningsih menggeleng tidak setuju. "Nggak mau ngerepotin siapapun."

"Makanya kalo nggak mau ngerepotin siapapun, mending pakai usulan saya aja. Mas Nando biar fokus ke keluarga kecilnya. Ibu dan Ninid tinggal disini, nggak usah kerja-kerja lagi. Semuanya selesai."

Tawaran Dhanu cukup menggiurkan, tapi Ningsih masih belum yakin lantaran status pernikahan mereka yang masih abu-abu. Bahkan Dhanu menganggap pernikahan ini untuk main-main. Dan dia sendiri menganggap suaminya sebagai musuh. Bagaimana mungkin ia percaya pada musuhnya sendiri?

Meski sikap pria itu sedikit lebih manusiawi akhir-akhir ini, tapi tetap saja itu tidak membuat Ningsih percaya sepenuhnya. Status pernikahan mereka tidak ada apa-apanya dibanding dengan kekasih Dhanu.

"Nggak mau ah! Mau kerja sendiri aja." Putus Ningsih pada akhirnya.

Sontak Dhanu membuang pandangan ke arah lain dengan raut sebal. Sia-sia dia ngomong panjang tapi pada akhirnya Ningsih tak mau menurut. "Terserah lah."

"Masih di terima nggak ya kerja disana."

"Kerja di toko aja, bantu-bantu ngasirin." Usul pria itu masih mau membantu meski tawarannya baru saja di tolak.

All About Me and Him!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang