Aku mematut diri di depan cermin. Tersenyum simpul, melatih bibir sebelum menyapa mertua. Dengan balutan celana baggy pants warna coklat susu senada seperti bajuku serta jilbab segiempat warna hitam—aku siap keluar kamar untuk menemui anggota lain di rumah ini.
Sebelum keluar, menilik sekilas pada seseorang yang masih tidur di atas ranjang. Aku menipiskan bibir secara refleks saat melihatnya begitu pulas tertidur. Padahal tadi subuh dia bangun, tapi cuma untuk mandi dan sholat. Setelahnya kembali tidur.
Biarlah si Songong melanjutkan mimpi buruknya, lebih baik aku segera keluar. Panas, lama-lama di kamar musuh.
"Ehh ... Pengantin baru muncul ..." Tata langsung meluncurkan suara cemprengnya begitu aku tiba di ruang makan.
Andai nggak ada orang lain di ruang makan ini, sudah pasti sapaan Tata aku balas dengan cibiran. Sayangnya di sini ada Abah yang sekarang tersenyum ramah padaku.
Mataku memandang Pak Kunco dan tersenyum kikuk. "Pagi, Bah." Sapaku. Aku nggak tau bagaimana cara menyapa selamat pagi ala orang kaya.
Abah mengangguk. "Duduk, Ning. Si Dhanu mana, kok nggak ikut keluar? Masih tidur ya, dia?" Tanyanya sambil melipat koran.
"Iya, suaminya mana? Kok nggak keluar bareng?" Tata ikut-ikutan menimpali. Dia sengaja melambatkan pekerjaannya yang cuma menata piring di meja makan.
"Su—sudah bangun, Bah. Tapi tidur lagi."
"Kebiasaan. Kalo hari libur dia memang begitu, Ning. Coba kamu bangunkan dia. Sudah menikah masa mau begitu terus."
Aku mengangguk patuh. "Nggih, Bah." Jawabku kemudian melipir pergi dari hadapannya untuk membangunkan pria yang berprofesi sebagai Guru Matematika itu. Yang sialnya menjadi suamiku.
Sampai di kamar, dia masih setia di posisi tidur yang sama seperti awal. Tidur terlentang, bibir terkatup dan mata yang sedikit terbuka.
"Mas, bangun. Di suruh sarapan sama Abah." Tanpa memberinya sentuhan aku mencoba membangunkannya dengan suara sedikit meninggi.
Nggak ada gerak. Hanya dengkuran halus yang terdengar.
"Mas Dhanu!" Aku mencolek lengannya sekali. Sedikit jijik.
"Mas Dhanu, Mas, Mas Dhanu!" Kali ini bukan cuma suara panggilan beruntun, aku juga menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Tubuhnya menggeliat merasa keganggu. Buru-buru aku mundur untuk menghindari amukannya yang kayaknya bakal meledak saat ini juga.
"Apa sih?! Ganggu aja!" Ketusnya sambil garuk-garuk rambut kepala. Mata sembabnya menatapku sengit.
Kenapa sih, orang-orang kalo di bangunin malah marah? Bukannya bilang terimakasih, kek.
Bibirku berdecak sesal. Harusnya tadi sekalian saja mengguyurnya dengan air dingin biar kalo bangun nggak berkata-kata karena kedinginan. "Di suruh bangun untuk sarapan. Sudah di tunggu Abah." terangku.
"Saya nggak ikut sarapan. Kamu keluar sana," usirnya mengibas-kibaskan tangan menyuruhku pergi kemudian matanya kembali tertutup.
Innalilahi ... Haruskah aku benar-benar mengguyurnya dengan air dingin? Atau, air keras sekalian biar wajah gagahnya jadi buruk?
"Masa pengantin baru sarapannya sendirian—" spontan aku menghentikan kalimatku dan menutup mulut menggunakan telapak tangan.
Barusan aku ngomong apa? Pengantin bar— baru?
Aku melihatnya yang sudah membuka mata dan memandangku dengan bola mata melotot. Kayaknya dia kaget dengan ucapanku tadi. Aku sendiri juga kaget.
Niat hati mau ngomong dalam hati tapi malah jadi dialog.
KAMU SEDANG MEMBACA
All About Me and Him!
General FictionAku malas dengan pelajaran Matematika sejak SD sampai lulus SMK, aku tidak suka Guru Matematika dan aku benci Mas Dhanu! Mas Dhanu, pria sok cool yang kebetulan di utus Tuhan untuk melihat rambut kepalaku disaat aku sudah ber-nadzar di hadapan yang...