enam

317 45 5
                                    

Pagi yang cerah kembali menyapaku. Seperti biasa aku menenteng sepatu dan duduk di lantai teras depan rumah. Sejenak memainkan ponsel untuk sekedar melihat adakah yang mencariku? HAHAHA. Tapi ternyata nggak ada.

Setiap hari WhatsApp pribadiku selalu sepi. Cuma rame karena kebisingan chat grup. Malangnya nasib perawan jones.

Karena WhatsApp sepi, aku beralih membuka akun Facebook. Masih jaman ya, main Facebook? Sebenarnya sudah nggak, tapi karena para biduan-biduan organ tunggal biasanya suka main Facebook, aku jadi sering-sering buka Facebook buat kepoin idola.

Lagi asyik scroll status di profil Diana Pungky si Biduan semok asoy malehoy, tiba-tiba Ibuku lewat menuntun sepeda kesayangannya. Beliau berhenti di depanku.

Aku mengernyit heran melihatnya merogoh tas kecil yang biasa digunakan Ibu untuk menyimpan uang kalo dagang. Jangan-jangan Ibu mau kasih aku uang saku. Hah, serius? Mataku berbinar seketika.

Ah, Ibuku... Tumben banget perhatian. Atau mungkin karena kemarin aku banyak membantunya. Membelikan tepung maizena dan mengantar Ninid periksa. Mungkin.

Tak disangka Ibu malah mengeluarkan amplop putih dan menyodorkannya padaku. "Apaan tuh?" tanyaku masih dengan raut heran.

"Surat Dokter. Kasihkan ke Jepri atau temannya si Ninid. Katanya masih lemes dan pusing jadi belum bisa berangkat sekolah," jelas Ibu.

Wajahku merengut seketika. Kukira Ibu mau kasih uang jajan. Kan, lumayan bisa untuk makan siang pake lauk ayam geprek sambel ijo di kantin pabrik. Huh! Rupanya... malah dikasih amplop berisi surat dokter! Mana suruh kasihkan ke si Jepri pula!

Masih dengan wajah merengut kecut aku menyambar amplop kasar.

"Itu muka jangan di jelek-jelekin! Sudah jelek, makin jelek kamu, Ning." bukan. Itu bukan kalimat seloroh atau candaan. Tapi itu kalimat hinaan yang keluar dari bibir Ibuku sendiri.

Belum sempat menyahut, Ibu sudah lebih dulu mengayuh sepedanya. Nggak mau menunda balas dendam, aku mengambil segenggam kerikil kecil dan melemparnya di area ban sepeda sehingga menimbulkan suara bising.

Punya Ibu satu kok ya selalu bikin emosi. Mana hobi nyuruh-nyuruh pula!

Kutatap dengan malas amplop putih di tangan. Ish! Kenapa nggak sekalian semalam saja, si Ninid kasih surat dokternya ke Jepri sih? Masih sambil ngedumel aku memakai sepatu dan langsung capcus ke rumah Jepri.

Lima belas menit lagi gerbang pabrik pasti akan ditutup. Aku semakin melajukan kendaraan kala mengingat peraturan baru di pabrik. Tiba di rumah Orang tua Jepri, kulihat ada beberapa pemuda yang bekerja di rumah Orang tua Jepri.

"Jepri nya ada nggak, Mas?" tanyaku ke salah satu dari mereka.

"Si Jepri dari kemarin sore nggak pulang ke rumah, Mbak. Ibunya saja lagi nyari-nyari dia," jawab salah satunya.

Ekspresi wajahku semakin kusut. Jepri nggak ada dan aku nggak tahu lagi harus menitipkan kepada siapa surat sakitnya Ninid. Aku nggak terlalu paham tentang siapa saja yang satu sekolah sama Ninid kecuali Jepri.

Aku mengangguk sekilas dan berterimakasih sebelum akhirnya melajukan motor—entah mau ke mana.

Sebenarnya bisa saja aku nggak perlu repot-repot ngasih surat sakit Ninid. Tapi, aku nggak tega. Aku takut nanti Ninid malah kena masalah karena nggak berangkat tanpa keterangan. Kalau dia nggak naik kelas, gimana? Kan, aku juga yang rugi bandar.

Masa iya aku harus memberi surat sakit Ninid langsung ke sekolahannya? Bisa saja, tapi malu.

Eh, atau aku titipkan saja surat ini ke Mas Dhanu? Mataku mengerjap lalu kepalaku menggeleng. Ide macam apa ini? Enggak, sekalipun sangat butuh, aku ogah minta tolong sama manusia satu itu!

All About Me and Him!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang