tiga

431 76 3
                                        

"Mbak, kata wali kelasku bulan ini terakhir bayar uang LKS. Sebentar lagi aku mau Ulangan Awal semester, kalo mau dapat kartu ujian SPP bulanannya harus sudah bayar minimal sampai bulan Juli." Kata Ninid menjelaskan rincian pembayaran sekolahannya yang harus aku lunasi.

Pagi yang cerah, tapi nggak secerah wajahku waktu dengar penjelasan Ninid soal pembayaran sekolah. Semua pembayaran sekolahan Ninid memang sudah menjadi tanggung jawabku sebagai Kakak. Dari awal masuk SMK Favoritnya, aku sudah tekadkan untuk membuat adikku menjadi orang sukses yang berpendidikan.

Aku bekerja pagi pulang sore untuk memenuhi kebutuhan sekolah juga cicilan motor. Tapi kalo ada sisa gaji, pasti akan aku tabung untuk masa depanku.

Sedang Ibu dan Bapak bekerja fokus untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menabung agar suatu saat bisa merenovasi rumah.

Dulu, sebelum Mas Nando menikah memang tanggunganku nggak berat-berat banget. Aku masih bisa beli skincare karena Mas Nando ikut bantu biayai hidup kami. Tapi sekarang dia sudah menikah dan ikut tinggal bersama istrinya di desa yang berbeda. Dia emang sesekali memberi uang untuk Ibu, cukuplah untuk beli beras 25 kilo buat dimakan sehari-hari.

"Iya nanti Mbak bayar. Kamu kan tahu Nid, Mbak bayarannya tiap tanggal 15. Sabar ya, nanti juga kebayar kok. Tapi buat uang SPP, kita pikirin nanti. Fokus dulu buat LKS. Soalnya Mbak juga harus bayar cicilan motor." Jelasku berusaha menenangkannya. Aku pasti akan bayar kok.

"Iya Mbak. Ninid jadi nggak enak hati sama Mbak Ning."

Adikku kok mukanya jadi suram gitu? Aku menoyor kepalanya tanpa segan. Dia selalu menampilkan wajah memelas kalo mau ngomongin masalah pembayaran sekolahannya. Sudah biasa itu.

"Aduh! Mbak, sakit tau! Nanti aku jadi bodoh gimana?" Pekiknya marah.

"Heh! Awas saja kalo jadi bodoh! Mbak sudah capek-capek biayai sekolahanmu ya, jadi kamu harus sukses dan jadi ranking satu terus."

"Nggak harus jadi ranking satu buat sukses, Mbak. Yang penting tuh skill."

Pinter banget emang adikku ini kalo ngomong. Untung saja dia selalu dapat ranking satu. Kadang aku juga heran sih, kok Ninid dan Mas Nando bisa pinter banget sedangkan aku yang sama-sama keturunan Ibu dan Bapak malah jadi bodoh gini.

Itulah kenapa aku ingin membahagiakan keluargaku dengan uang. Karena dulu aku nggak pernah mengharumkan nama keluarga dengan prestasi. Tapi sayang seribu sayang, sudah kerja capek-capek gajinya cuma cukup untuk bayar sekolah Ninid dan setor cicilan motor.

Pernah waktu itu aku tanya ke Ibu, apa aku benar-benar anaknya atau dulu pernah tertukar oleh bayi lain saat di rumah sakit. Tapi Ibu malah menoyorku dan bilang kalo aku lahir di rumah dengan dukun bayi, bukan di rumah sakit bersama dokter.

"Mbak, Minggu ke wisata yuk?" Ajaknya sembari tangannya sibuk mengikat tali sepatu.

Ini lagi! Sedang pusing-pusingnya mikirin biaya sekolahnya dia, malah minta ke wisata! Semprul emang! Aku menelan onde-onde dengan susah payah lalu membuang sisa onde-onde yang gosong ke halaman rumah. Pagi ini memang aku dan Ninid lagi duduk di beranda depan rumah. Ninid sudah bersiap dengan seragam sekolahnya dan aku sudah siap dengan seragam pabrik. Tinggal nunggu waktunya berangkat.

"Tanggal 15 hari apa sih? Senin kan?" Tanyaku.

"Masa sih? Bukannya Minggu ya? Biasanya kan, kalo Mbak bayarannya pas hari Minggu, pasti kasi gajinya hari Sabtu." Kata Ninid tahu sekali soal waktu bayaranku.

Aku kembali menoyor kepalanya membuatnya mengaduh sambil mencebik kesal. "Tanggal 15 tuh hari Senin! Anak sekolahan kok nggak ngerti tanggal."

"Ya.. kan aku sibuk mikirin pelajaran. Udahlah, aku berangkat dulu. Assalamualaikum!" Pamitnya dan bergegas berdiri.

All About Me and Him!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang