Sudah empat hari sejak kejadian Minggu pagi yang malang menimpaku. Aku mulai sedikit mengiklaskan apa yang telah terjadi. Kalo sudah begini, emang aku harus gimana lagi? Tuhan sudah berkehendak rambut kepalaku dilihat oleh Mas Dhanu dan siapapun nggak ada yang bisa membatalkan kehendak-Nya.
Untuk masalah nadzarku, aku masih ingat dan masih harus aku pertimbangkan matang-matang sebelum bertindak. Aku sih, inginnya pura-pura lupa sama nadzarku ini, tapi kayaknya nggak bisa karena setiap malam, mimpi buruk selalu mengganggu waktu tidurku.
Sore ini aku baru pulang dari pabrik dan lagi duduk santai di depan rumah sambil buka sepatu. Biasalah ngadem dulu.
"Ning, habis mandi tolong belikan Ibu tepung maizena ya."
Suara Ibuku membuat bibirku manyun kedepan. Apa Ibu nggak lihat anaknya yang asoy ini baru pulang kerja? Biasanya nih ya—cerita yang aku dapat dari teman-teman pabrikku, mereka kalo pulang selalu di sambut baik sama orangtua mereka. Dielus-elus kepalanya sambil ditawari makan.
Lah ini, jangankan ditawari makan. Belum juga masuk rumah, sudah disuruh beli tepung ke warung.
Kadang aku suka berpikir kalo Ibu nggak sayang sama aku. Beliau cuma sayang sama Mas Nando dan Ninid.
"Bawa sini uangnya, Ning belikan sekarang," Kataku. Tentu saja aku nggak mau waktu istirahat soreku setelah mandi digunakan untuk membeli tepung. Jadi lebih baik beli sekarang saja.
"Ibu bilang mandi dulu, Ning."
"Udah sini uangnya. Setelah mandi aku nggak akan keluar kamar sampai Maghrib," Sahutku lagi.
Kulihat Ibu memasukkan tangannya ke dalam kaos partai berlogo Banteng lewat kerah depan lalu mengeluarkan uang kertas dari sana. Astaga... Adakah yang lebih jorok dari Ibuku ini? Ciri khas orang jaman dulu sekali, kalo nyimpen duit di dalam BH.
Daripada kena damprat dari Ibu karena nggak mau ambil duit bekas kena payudaranya, aku terpaksa mengambil duit itu. Tentunya dengan jari jempol dan telunjuk saja lalu langsung memasukkan ke dalam saku.
Iyuwh... Najis muholadoh!
"Adaww!" pekikku keras sambil mengelus kepala yang baru saja kena pukul dari tangan Ibu. Kutatap dengan kesal wanita yang sudah berhasil mengeluarkan aku dari rahimnya. "Asal pukul aja! Kalo anaknya kena geger otak gimana?" sungutku.
Ibu malah menjep-menjepkan bibir bodo amat. "Yang geger otak kamu, bukan Ibu. Sudah sana cepat ke warung! Keburu sore."
Ada yang mau tukeran Ibu nggak sama aku? Aku nambah duit nggak apa-apa. Rasanya aku sudah seperti pembantu saja di sini. Tapi walau kesal aku tetap melaksanakan perintah Ibuku yang songong dan pelit ini.
Warung langganan Ibu untuk beli bahan jualan sedikit jauh dari rumah, jadi aku gunakan motor. Sambil jalan-jalan sore lah ya. Lagian aku sudah solat Ashar di Mushola pabrik.
Menuju warung langganan Ibu itu berarti aku harus melewati rumah Mas Dhanu. Ah! Lagi-lagi aku harus ingat nama itu. Membuatku dongkol saja.
Motorku semakin melaju ke depan dan sebentar lagi akan melewati rumah Mas Dhanu yang besar dan megah dari rumah-rumah sekitarnya. Dan sekarang aku melewatinya. Sempat kutolehkan kepala untuk melihat halaman rumahnya, tapi sepi.
Ah, bodo!
Memangnya kamu mau berharap apa, kalo di halaman rumah ada Mas Dhanu, Ning? Hatiku bertanya mencemooh dan aku nggak punya jawaban selain diam sambil tersenyum getir. Ya masa aku mau hampiri dia terus bilang harus tanggung jawab karena dia sudah melihat rambutku?
Jangan gila, Ning. Kamu harus punya harga diri walau harganya nggak lebih murah dari sekilo minyak goreng. Ah, sialan. Perumpamaan macam apa itu!
Tiba di toko Rimah, toko yang selalu jadi andalan Ibu untuk belanja setiap hari. Karena selain murah, di sini kalo ngasih persenan lebaran ngasihnya nggak tanggung-tanggung. Tapi sayangnya, aku nggak suka sama anak si pemilik toko sembako ini. Jangan di tanya kenapa, karena aku malas membahasnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/276895263-288-k314795.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
All About Me and Him!
General FictionAku malas dengan pelajaran Matematika sejak SD sampai lulus SMK, aku tidak suka Guru Matematika dan aku benci Mas Dhanu! Mas Dhanu, pria sok cool yang kebetulan di utus Tuhan untuk melihat rambut kepalaku disaat aku sudah ber-nadzar di hadapan yang...