dua puluh satu

244 51 9
                                    

Sudah dua hari Dewi tinggal di rumah Bu Bidan. Keberadaan Dewi mengubah suasana rumah yang awalnya sepi dan sunyi, sekarang sedikit ramai karena tingkah Dewi. Saat sedang makan bersama, biasanya hanya Pak Kunco yang mengundang pembicaraan, sekarang ada Dewi yang seringkali menjahili Mas Dhanu atau banyak tanya ke Bu Bidan. Aku sih sebagai orang asing hanya bisa menimpali dengan senyuman singkat atau kalo Pak Kunco melibatkanku ke pembicaraannya, aku jawab seadanya saja.

Untuk saat ini, aku terima-terima saja sikap si Dewi. Meskipun tatapannya terhadapku tak jauh berbeda dengan Bu Bidan. Yah, senyaman orang kaya saja. Aku yang butiran debu cukup tau diri. Satu sih yang aku syukuri dengan keberadaan Dewi, dia kalo malam sering nyamperin kamarku dan Mas Dhanu untuk mengajak Mas Dhanu mabar. Dengan begitu, artinya aku nggak terlalu sering melihat wajah Mas Dhanu di kamar.

Oh iya, Dewi juga sudah pindah sekolah  disekolahan yang sama dengan Ninid. Sama-sama kelas 11 hanya saja beda jurusan. Aku juga sudah cerita ke Ninid kalo sodara Mas Dhanu pindah ke sekolah dan tinggal di rumah Bu Bidan. Tak lupa juga mengingatkan Ninid untuk tidak perlu terlalu mengenal Dewi meski punya ikatan sodara.

Untuk masalah pindah rumah, baik Mas Dhanu maupun Bu Bidan atau Pak Kunco, mereka belum membicarakannya kembali. Padahal obrolan itu yang sangat aku tunggu. Segera pindah rumah dan bisa bebas dari sorot mata tajam Bu Bidan jika memandangku. Percayalah, dipandang sebegitu tajam itu nggak enak. Takut. Aku yang bisa dibilang cewek pemberani saja bisa merasa takut. Untung aku yang jadi menantunya. Coba kalo kalian, kelar sudah mentalmu.

"Kamu jadi pindah rumah, Nu?" Gerak gigiku yang sedang mengunyah makanan langsung berhenti begitu suara Pak Kunco mengudara di ruang makan yang sunyi—karena masing-masing sibuk pada makanan sendiri.

"Loh, Bang Hesa mau pindah rumah?" Celetuk Dewi. Wajah gadis itu kelihatan syok.

Aku sedikit menggerakkan kepala untuk melihat reaksi Mas Dhanu. Dia mengangguk. "Jadi."

"Kapan?"

"Aduh... Abah ini ya, selalu deh. Kenapa sih, tanya-tanya Dhanu soal pindah rumah terus? Pengin banget anaknya hengkang dari rumah." Protes Bu Bidan menatap tak suka pada suaminya.

"Bukan begitu maksud Abah. Dhanu kan sudah punya istri dan lagipula dia sudah punya sendiri. Kenapa nggak segera di huni saja? Toh, dia sudah janji akan pindah setelah menikah. Iya kan, Nu?"

Aku berada di pihak Pak Kunco. Aku dukung 100% omongan Pak Kunco. Yang bikin aneh tuh Bu Bidan, kenapa beliau selalu protes kalo Mas Dhanu mau pindah rumah sih? Heran. Anaknya sudah punya istri tapi masih saja ingin mengurusi urusan anaknya.

"Hmm. Minggu depan inshaAllah pindah."

APA?! Minggu depan kita bakal pindah rumah tapi dia sama sekali nggak bilang apa-apa padaku? Keterlaluan! Dia anggap aku apa sih sebenarnya? Pernikahan ini memang atas dasar permainannya, tapi, apa hal penting pun harus dia sembunyikan dariku?

"Kalo Bang Hesa pindah, terus aku berangkat sekolahnya sama siapa?"

"Naik motor sendiri." Jawab Mas Dhanu.

Dewi menggeleng keras. "Nggak mau ah! Aku ikut pindah aja ke rumah Abang."

Bu Bidan langsung naik pitam. "Kalo kamu ikut pindah, terus Bukde sama siapa?"

"Bukde kan bisa berduaan sama Pakde."

"Nggak mau ah! Pakde kamu itu nggak seru kalo diajak curhat. Ada orang curhat bukannya dikasih pencerahan malah di marah-marah. Wi, kamu di sini saja lah. Nanti Bukde belikan motor yang kamu mau."

Aduh, ngeri deh dengar omongan orang kaya. Motor mah barang sepele yang bisa mereka beli dengan Cash.

Kulihat wajah kusut Dewi seketika bersinar terang. Tangannya memegangi lengan Bu Bidan. "Beneran, Bukde?"

All About Me and Him!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang