Pagi ini Ningsih berkunjung ke rumah Ibunya. Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi, dia yakin Ibunya sudah pulang dari jualanannya.
Setibanya di rumah, Ningsih langsung diajak masuk ke kamar oleh Sumi.
"Ngapain kita ke kamar, Bu?"
"Ssssttt! Di belakang ada Bapak. Dia nggak boleh tau."
Kening Ningsih mengernyit tak paham. "Tau apa?"
Tau pembicaraannya akan panjang, Ibu tiga anak itu mengajak Ningsih duduk di tepi ranjang. "Soal yang kemarin. Bagaimana respon suamimu? Apa dia marah besar? Ibu—dari semalam nggak bisa tidur gara-gara mikirin kalian, Ning."
Ibunya sepertinya tidak bohong, bisa Ningsih lihat ada lingkaran hitam di kelopak mata Sumi. Kasihan sih, tapi dia lebih kasihan ke nasibnya sendiri.
"Mas Dhanu nggak marah. Dia minta Orangtuanya jangan dikasih tau dulu soal ini. Ibu bisa tutup mulut ke mereka kan?"
Sumi langsung mengangguk menyanggupi. "Ibu rasa juga sebaiknya jangan di kasih tau dulu. Ibu takut kalian di suruh cerai tiba-tiba terus kamu jadi janda mendadak, Ning."
Baiklah, yang Ibunya kasihani bukan mental Ningsih melainkan statusnya.
"Kalo itu terjadi, Ning sudah siap kok." Balasnya. Cepat atau lambat pasti hal itu akan terjadi meski entah kapan waktunya. Yang jelas, dia sudah menyiapkan diri dan tekad untuk menghadapi kemungkinan itu.
"Hush! Amit-amit, Ning! Toh kamu belum tentu nggak bisa punya anak."
"Jadi janda tanpa anak lebih baik. Kalo soal itu, aku serahin ke Gusti Allah saja."
Sumi memggeleng ngeri membayangkan anaknya menjanda. "Kita lanjut bahas yang tadi saja. Sebenarnya Ibu masih nggak percaya sama jawabanmu."
"Bagian mana yang nggak Ibu percayai?"
"Benar, Dhanu nggak marah sama kamu? Eh, kok kamu tumben tiba-tiba kesini? Jangan-jangan, kamu di usir ya?"
Gusti... Ningsih terus mengucap sabar dalam hati juga diiringi dzikir agar amarah tak memenuhinya.
"Iya! Aku di usir. Jadi hari ini aku mau disini seharian!"
"Heh, beneran?"
Kali ini Ningsih mengepalkan kedua tangan. "Nggak, Ibuku. Anakmu ini nggak di usir suaminya. Ning kesini karena mau main ke rumah Ambar." Katanya dengan gemas.
"Ambar lagi di rumah mertuanya."
"Kalo gitu Ning mau tiduran." Tubuhnya sudah tidur terlentang di ranjang tapi detik berikutnya sang Ibu justru menarik lengannya untuk kembali duduk.
"Enak aja! Bantu Ibu bikin pesanan Kue mendut seratus biji sama putri ayu seratus juga."
"Banyak banget. Siapa yang pesan?" Meski sedang di situasi seperti ini, jiwa keponya tetap masih melekat.
"Yang punya depot ayam itu, si Jetun. Dia beli mobil baru terus syukurannya ngundang seratus orang."
Ningsih hanya ternganga dan membiarkan Ibunya pergi.
**
"Katanya ada yang mau kamu bicarakan, Sa? Soal apa?" Katrin bertanya setelah mereka sudah selesai menghabiskan makan siang di piring masing-masing.
Dhanu yang sibuk mengaduk es teh di gelasnya lantas menoleh. Saat ini mereka tengah menghabiskan waktu makan siang di warteg langganan.
"Soal—istriku."
Kening Katrin mengernyit sedikit heran. Tidak biasanya Dhanu mau membagi cerita mengenai masalahnya dengan Ningsih. Karena biasanya, Katrin lah yang akan memaksa agar Dhanu mau bicara tentang istrinya itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/276895263-288-k314795.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
All About Me and Him!
Fiksi UmumAku malas dengan pelajaran Matematika sejak SD sampai lulus SMK, aku tidak suka Guru Matematika dan aku benci Mas Dhanu! Mas Dhanu, pria sok cool yang kebetulan di utus Tuhan untuk melihat rambut kepalaku disaat aku sudah ber-nadzar di hadapan yang...