"Nid, nanti jam sembilan Ibu minta tolong bawain jajanan ke toko bangunan Pak Kunco ya, cah ayu?"
Itu suara Ibu yang ditujukan kepada Ninid. Giliran nyuruh si bontot, segala dipanggil cah ayu.
Sedang yang diajak bicara sibuk mengeringkan rambut menggunakan handuk kecil, berdiri di depan pintu kamar mandi. Rajin banget memang si Ninid kalau urusan kebersihan badan. Aku sendiri tengah duduk di kursi meja makan, menghabiskan sarapan—sambil memperhatikan interaksi Ibu dan Ninid.
"Nid, kamu dengar Ibu ngomong apa nggak sih?" Ibu yang lagi sibuk masukin bahan dagangannya ke dalam tas pasar kembali bersuara—tanpa melihat orang yang diajaknya bicara.
Kulihat Ninid tampak memutar bola mata. Aku siap sedia mendengarkan jawabannya yang akan menolak.
"Nggak ah, Bu. Aku malu, nanti disana ketemu guruku, Pak Dhanu. Duh, aku juga belum garap PR Matematika."
Tuh, kan. Aku bilang juga apa. Aku menatapnya sinis sambil terus memasukkan nasi ke dalam mulut dan mengunyahnya perlahan-lahan. Sebenarnya pengin nyeletuk, tapi aku takut malah jadi sasaran nanti disuruh mengantarkan jajanan ke toko Pak Kunco. Lalu berujung bertemu si songong. Ogah!
Diam lebih baik untuk saat ini.
"Mengerjakan PR kan bisa nanti malam. Cuma anterin saja, Nid. Soalnya Ibu hari ini mau pulang agak siangan, mau belanja tepung." Nada bicara Ibu nggak pernah ngotot kalo ngomong sama Ninid. Beda lagi kalo denganku, Ibu akan ngotot dan nggak segan-segan melayangkan ancaman.
"Ninid nggak mau Bu. Malu kalo ketemu Pak Dhanu diluar sekolah. Lagian kan tadi malam Ibu suruh aku anterin minum untuk Bapak di sawah, jam sembilan," jawab Ninid kemudian kulihat netranya mengarah padaku, "suruh Mbak Ning aja Bu, yang nganterin jajanan ke toko," lanjutnya.
Cari mati kamu, Nid!
Aku bahkan sampai menahan napas begitu Ninid menyebut namaku. "Nggak mau! Ibu kan nyuruh kamu, kenapa jadi aku?" hardikku nggak terima.
Untuk kali ini sepertinya aku enggan untuk mengalah. Aku tentu nggak mau bertemu dengannya. Yang benar saja.
"Ini Minggu, Mbak Ning pasti luang."
"Kata siapa aku luang? Nanti jam delapan aku ada janji dengan Ambar, mau ukur pakaian di salon!" Kilahku. Aku dan Ambar memang sudah janjian untuk mengukur pakaian yang akan aku kenakan saat dia menikah. Tapi bukan jam delapan, tepatnya jam sepuluhan.
"Bohong. Kata Mbak Ambar ke salonnya jam sepuluh, tadi malam aku tanya."
"Ya Allah, disuruh antar jajan ke toko Pak Kunco saja kalian harus ribut." Ibu berdiri menginterupsi pembicaraanku dengan Ninid. Matanya mengarah padaku, membuatku was-was seketika. "Ning, nanti kamu saja yang antar. Ibu lupa, kalo Ninid harus antar wedang ke sawah," putusnya.
Mataku mendelek nggak terima. "Aku nggak mau! Mending antar wedang ke sawah, terus Ninid yang antar jajanan," tawarku.
"Kan aku udah bilang, nggak mau antar jajan ke toko! Pokoknya nggak mau!" Ninid berseru kemudian berjalan cepat memasuki kamar.
Kurang asem! Dia pikir, cuma dia yang takut ketemu Mas Dhanu? Aku juga...! Bukan takut sih, lebih tepatnya malas. Apa lagi mengingat ucapannya beberapa hari lalu, yang bilang kalo aku nggak boleh nunjukin muka di depannya.
"Bu, aku tuh nggak mau nganter jajan ke toko Pak Kunco," ujarku pelan.
"Sebentar saja, Ning. Kasihkan ke orang kasir, terus kamu langsung pulang. Sudah. Apa susahnya? Mbokya ngertiin Ibumu. Ibu mau belanja tepung buat besok, ada banyak pesanan."
Suara Ibu tampak memelas. Nggak tega untuk membantah. Lalu sekarang aku harus bagaimana?
"Ibu berangkat dulu. Jangan lupa cuci piringnya, terus kunci pintu kalo rumah sepi."

KAMU SEDANG MEMBACA
All About Me and Him!
General FictionAku malas dengan pelajaran Matematika sejak SD sampai lulus SMK, aku tidak suka Guru Matematika dan aku benci Mas Dhanu! Mas Dhanu, pria sok cool yang kebetulan di utus Tuhan untuk melihat rambut kepalaku disaat aku sudah ber-nadzar di hadapan yang...