dua puluh empat

559 57 18
                                    

Mulai sore ini pukul lima, aku resmi menjadi pengangguran. Dan pagi tadi adalah hari terakhirku bekerja. Satu jam lalu aku menyerahkan seragam kerja dan ID Card milik pabrik.

Memasuki rumah Mas Dhanu yang sepi dan petang. Si pemilik rumah sudah dua hari ini nggak pulang. Terakhir aku melihatnya saat dia pagi-pagi sekali berangkat ngajar dan tumben sekali pakai mobil. Dia juga bilang kalo beberapa hari kedepan nggak bisa pulang karena ada pekerjaan di luar kota. Aku sih terserah apa katanya saja. Yang penting, syarat yang beberapa minggu lalu aku ajukan bisa dia penuhi. Uang bulanan.

Syukurnya, malam setelah syarat itu disetujui, Mas Dhanu langsung memberiku kartu ATM baru atas namanya. Dia bilang, itu sudah ada isinya dan setiap bulan bakal dia isi kalo uang gajinya turun. Si songong juga sudah melunasi semua angsuran motorku. Untuk biaya sekolah Ninid, katanya aku nggak perlu ikut campur karena dia sudah tahu biaya apa saja yang diperlukan adikku.

Mendengar semua itu, beban hidupku benar-benar luar biasa jadi enteng. Aku serasa beneran punya suami. Suami yang mau bertanggung jawab atas apa yang aku tanggung sebelum menikah dengannya. Terlepas dari fakta dia menghianati pernikahan sialan ini dengan melibatkan wanita lain, aku sangat berterimakasih.

Dan, karena beban angsuran dan sekolah Ninid sudah di tanggung Mas Dhanu. Aku memutuskan untuk menyimpan uang JHT yang sebentar lagi akan turun, aku simpan untuk Ninid melanjutkan sekolah setelah lulus SMK. Aku nggak mau berharap lebih Mas Dhanu mau membiayai sekolah Ninid sampai ke perguruan tinggi. Karena sejujurnya aku juga nggak yakin kalo pernikahan sialan ini akan berlanjut sampai beberapa tahun kedepan. Semua bisa saja terjadi. Kemungkinan-kemungkinan buruk tentu nggak akan bisa aku hindari.

Ponselku berbunyi ketika posisiku hendak melepas jilbab untuk segera mandi. Nama si songong tertera disana. Duh, meski dia sudah membantuku meringankan beban dan aku sangat berterimakasih, tapi tetap saja rasa benci nggak bisa aku hilangkan sedikit saja.

Daripada dia pulang sambil bawa-bawa senapan untuk mengancamku karena nggak angkat teleponnya, lebih baik aku mengangkatnya sekarang.

"Assalamualaikum?" Sapaku.

"Walikumsalam." Dia menyahut dengan nada malas. Nggak ikhlas pasti. "Dimana?" Tanyanya ambigu.

"Apanya yang dimana?"

"Ck! Kamu dimana?"

"Di rumah lah!" Ketusku.

"Jangan lupa kasih makan ikan-ikan saya."

Aku langsung menepuk kening. Ya amplop! Aku bahkan nggak kasih makan ikan-ikannya dari kemarin hari.

"Ningsih?"

"Y—ya?"

"Jangan bilang kalo kamu lupa kasih makan ikan?"

Emang lupa!

"E-Enggak kok. Tadi pagi udah dikasih makan sekalian banyak."

"Sudah kamu kuras juga kolam ikannya?"

Jangankan kuras kolam ikan, wong kasih makan saja aku lupa!

"Sudah!"

"Nanti saya cek di cctv."

Ini bukan ancaman, tapi peringatan. Tanpa pikir panjang aku langsung memutuskan panggilannya dan bergegas menghampiri aquarium di ruang tamu yang dia beli baru seminggu lalu dan diisi oleh ikan hias.

Duh, lagian si Songong ada-ada saja tingkahnya. Segala piara ikan hias. Bikin repot! Kebanyakan duit apa gimana sih?!

Nggak pake lama aku langsung menguras aquarium cepat-cepat dan memberi ikan-ikan itu makan.

All About Me and Him!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang