delapan belas

480 53 8
                                    

Ini gawat!

Pagi ini aku sudah rapi menggunakan seragam pabrik lengkap sama jaket denim andalanku. Mas Dhanu dan Bu Bidan sudah berangkat bekerja beberapa menit lalu. Jam sudah menunjukkan pukul 06:55 dan seharusnya aku sudah sampai di gerbang pabrik, bukannya malah lagi duduk di teras rumah mertua sambil terus berusaha menghubungi nomor Ninid kayak gini.

Ah sial! Ini semua gara-gara kebodohanku sendiri yang lupa bawa motor ke rumah mertua. Harusnya aku pinjam motor Bapak untuk di tinggal di sini sementara waktu. Karena nggak akan mungkin kalo aku berangkat boncengan sama Mas Dhanu. Oh, jelas itu nggak akan pernah terjadi. Mas Dhanu pasti ogah-ogahan sekalipun Pak Kunco yang menyuruhnya untuk mengantarku ke tempat kerja. Aku juga nggak berharap dia mau, sih.

Sambil terus menghubungi nomor Ninid yang sialnya nggak diangkat-angkat, bibirku nggak pernah berhenti memaki kata-kata kasar. Ini hari pertamaku kerja setelah cuti, masa mau nambah libur sehari sih?

"Loh, Ningsih? Kamu belum berangkat?" Aku terlonjak mendengar suara lain dari belakangku.

Itu suara Pak Kunco. Memejamkan mata, aku dibuat bingung harus menjawab apa kalo Pak Kunco tanya-tanya lebih lanjut.

"Eh, iya Bah. Masih nungguin Ninid." Balasku sambil meringis segan begitu PK Kunco sudah berada di depanku.

"Kenapa tadi nggak barengan aja sama Dhanu? Pabrik kamu kan nggak terlalu jauh dari sini." Lagi-lagi aku cuma bisa cengar-cengir bingung mau jawab apa.

Kemudian Pak Kunco melirik jam tangannya dan menatapku cemas. "Sudah hampir jam tujuh, mau Abah antar?" Tawarnya otomatis membuat jantungku hampir copot.

Segera kugelengkan kepala. "Enggak usah, Bah. Ini Ning lagi coba nelpon Ninid buat jemput kok."

"Berarti belum dapat balasan dari Ninid?" Aku menggeleng.

"Sudah, ayo Abah antar saja. Nanti kamu terlambat malah jadi urusan." Ajaknya lagi.

Duh, entah kebaikan apa yang sudah aku lakukan di masa lalu sampai-sampai Gusti Allah kasih aku Bapak mertua sebaik Pak Kunco ini.

"Ning naik ojek di depan saja ya, Bah?" Aku mencoba menolaknya dengan halus. Meski aku terkenal nggak tahu malu, tetap saja kalo situasinya seperti ini aku bakal segan.

"Loh, ngapain naik ojek? Ya sudah, kalo kamu nggak mau Abah antar, pake saja motor Dhanu yang Matic. Jarang di pake tapi masih ada bensinnya. Jangan menolak ya, Ning. Abah ambilkan kunci motornya dulu." Belum juga aku menanggapi, beliau sudah lebih dulu melipir pergi.

Aku ketar-ketir memikirkan gimana reaksi Mas Dhanu nanti kalo tahu motornya aku pake untuk ke pabrik. Semoga dia nggak mencak-mencak cuma gara-gara salah satu asetnya aku pake tanpa sepengetahuannya. Lagian, ini kan yang maksa Bapaknya dia, kenapa aku harus setakut ini? Kalo Mas Dhanu nggak terima, aku bisa mengadu ke Pak Kunco. Hehehe.

Pada akhirnya aku berangkat menggunakan motor Mas Dhanu dan begitu tiba di pabrik, untung saja Security yang jaga gerbang lagi baik hati untuk memperbolehkan aku masuk meski terlambat 10 menit.

"Mentang-mentang pengantin baru, berangkat kerja terlambatnya nggak kira-kira kamu, Ning." Sindir Mbak Yuni—leader baru yang menggantikan posisi Ambar.

Aku cuma nyengir kuda sambil sibuk menyiapkan pekerjaan.

"Gimana Ning, main kuda-kudaannya lancar nggak?" Itu suara si Randa yang cuma aku balas dengan tatapan sinis. Sebagai manusia normal, tentu aku nggak perlu menanggapi omongan orang gila seperti Randa.

"Si Ningsih udah jadi bininya orang kaya masih mau aja kerja di pabrik kayak gini. Kalo aku jadi kamu, jam-jam segini lagi ongkang-ongkang di ruang tengah sambil nonton gosip di tipi." Ujarnya lagi.

All About Me and Him!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang