dua puluh

587 59 8
                                    

"Bang Hesa ..."

Teriakan itu adalah suara pertama yang aku dengar ketika masuk ke rumah Bu Bidan setelah seharian berkunjung ke rumah orangtuaku. Dan seorang remaja yang kayaknya seumuran dengan Ninid muncul berlari cepat menghampiri kami-ah, lebih tepatnya menghampiri Mas Dhanu. Remaja itu memeluk erat tubuh yang dipanggilnya tadi sebagai Bang Hesa.

"Bang Hesa kemana aja sih? Dewi telpon-telpon dari siang ternyata kata Pakde hape Bang Hesa ditinggal di kamar." Ungkap gadis itu begitu pelukan sudah terurai. Tangan bergelantung manja di lengan Mas Dhanu.

Sedang diriku hanya berdiri membisu memperhatikan interaksi keduanya dengan kedua tangan sama-sama menenteng plastik putih berisi Rempeyek Kacang dan Opor Ayam Kampung, oleh-oleh dari Ibu. Katanya.

Eh, tunggu. Dewi? Aku pernah mendengar Bu Bidan menyebut nama itu saat sedang membicarakan soal Mas Dhanu pindah rumah. Mataku terbuka lebar menyadari sesuatu. Oh, jangan-jangan ini Dewi si yang katanya mau pindah sekolah di sini. Kalo benar iya, itu artinya sebentar lagi aku akan keluar dari rumah ini dong? Yes! Akhirnya tiba pada waktunya.

"Maaf, maaf. Abang lupa kalo ada janji buat jemput kamu, Wi. Terus, tadi sampai sini jam berapa?" Sahut Mas Dhanu, tangan dia bertengger di atas kepala gadis itu. Ringan banget ya tangannya kalo pegang-pegang cewek.

"Ih, kok bisa lupa sih!" Dibalas cubitan mesra oleh remaja ting-ting di depannya. "Keterlaluan. Untung ada Ojol, jadi Dewi sampai sini jam 12 siang tadi." Lanjutnya.

Loh, loh. Aku mundur sedikit waktu Dewi mencubit dada Mas Dhanu. Lama-lama aku berdiri disini berasa nonton Ftv menye-menye. Apalagi tingkah si remaja baru masuk aqil baligh atau si Dewi-Dewi ini manjanya luar biasa. Terus, ditanggapi juga oleh Mas Dhanu. Dan dia kayaknya nggak merasa risih.

"Oh iya, ini ... istri Bang Hesa?" Dewi menunjukku membuatku tersenyum kikuk dan menunduk segan. Ingat, ini dirumah mertua. Harus sok anggun dan mode pendiam.

Masih bisa kulihat kalo Mas Dhanu melirikku. "Iya."

Oh, ternyata dia masih mau mengakuiku sebagai istri di depan orang lain. Atau, mungkin karena ini di dalam rumahnya jadi ia masih mau mengakui? Aduh, ngapain aku pikir pusing? Ck!

Dewi, remaja dengan rambut potongan ala Dora ini tersenyum aneh padaku. Ya, aneh. Dia seperti mengejekku. Apalagi dengan tatapannya yang seolah jijik padaku. Dia kenapa sih? Apa wajah-wajah sepertiku sangat Haram untuk dijadikan istri Mas Dhanu?

Karena aku lagi akting menjadi istri solehah dan pendiam, aku mengulurkan tangan lebih dulu untuk mengajaknya bersalaman. Kami bersalaman. "Ningsih."

"Aku Dewi, Mbak. Anaknya adik Bukde Cantika. Waktu nikahannya Bang Hesa aku nggak ikut, karena ada ujian sekolah." Terangnya kali ini mengumbar senyum ramah.

Tuh kan! Benar dugaanku.

Aku mengangguk memaklumi. Ninid juga waktu di pernikahanku nggak ikut campur terlalu banyak karena harus menyiapkan ujian sekolah.

"Nu, kamu kemana aja sih? Di telpon berkali-kali ternyata hapenya ada di kamar. Bukannya Mama sudah bilang untuk jangan kemana-mana karena kamu harus jemput Dewi di Stasiun?" Tepat aku melepas jabat tangan dengan Dewi, Bu Bidan muncul bersama wajah kesalnya. Beliau juga sempat melirikku.

"Maaf Ma, kami baru pulang dari berkunjung ke rumah Ibu." Aku yang menjawab.

Membuat Bu Bidan beralih menatapku sambil berkacak pinggang. "Oh, pantesan. Dikasih ceramah apa saja anak saya sama Ibu kamu, sampai berangkat pagi pulang sore-sore begini?"

"Ma!" Mas Dhanu angkat bicara, dia menggeleng beberapa kali. Sepertinya memberi Bu Bidan kode karena setelahnya Bu Bidan bungkam dan lebih memilih mengajak Dewi ke dapur untuk membuat makan malam.

All About Me and Him!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang