empat

404 72 6
                                        

"Pagiku cerah, matahari bersinar..." Aku bernyanyi tak tentu nada sambil menyisir rambut sebahuku yang selalu kututupi pake kerudung.

Nggak ada yang bisa kubanggakan dengan rambut tipisku yang kekurangan vitamin ini. Jadi alangkah baiknya aku selalu berongsong saja kepalaku. Lagian, berjilbab kan sudah sewajibnya untuk kaum wanita.

Berjilbab nggak harus untuk orang-orang yang rajin solat dan puasa Senin-Kamis. Semua wanita umat muslim wajib berjilbab. Seperti aku, sejak pertengahan semester kelas 3 SMP tekadku sudah bulat untuk berjilbab.

Ini gara-gara guru SMP-ku yang menayangkan video cerita siksa kubur dan perjuangan Orangtua dalam membesarkan anak. Kalo lagi masa-masa mau ujian emang seringkali guru SMP menayangkan hal-hal yang bikin murid jadi tobat dan tiba-tiba jadi Soleh.

Aku yang kala itu sangat takut mendengar cerita kalo anak perempuan yang nggak menutup rambut kepala, katanya Bapaknya bakal disiksa di akhirat.

Akhirnya pulang dari sekolah aku langsung minta maaf ke Bapak dan Ibu. Bahkan aku tak segan-segan mencium punggung kaki kedua orangtuaku. Sedang Bapak dan Ibu cuma bisa melongo sambil elus-elus kepalaku dan bilang, "Kamu tobatnya jangan cuma waktu ingat mati saja Ning. Kematian kan datangnya tiba-tiba. Nanti kalo pas kamu lagi kumat, terus kamu meninggal pas itu gimana? Kan sia-sia." Begitu tutur Ibuku.

Padahal aku tobat bukan karena ingat mati, tapi ingat Bapak nanti disiksa kalo aku masih saja jadi anak durhaka.

Malam harinya, setelah solat Maghrib aku benar-benar memanjatkan do'a pada Yang Maha Esa. Kedua tanganku menengadah dan bilang kepada-Nya kalo aku mau Istiqomah berjilbab. Aku juga sempat bernadzar, kalo suatu saat nanti ada laki-laki yang melihat rambut kepalaku secara keseluruhan, dia harus menikahiku. Apapun dan siapapun itu harus menikahiku.

Kira-kira begini isi do'aku.

"Ya Allah, aku memang anak yang penuh dosa dan sering bikin dosa. Ya Allah, ampunilah aku dan segala dosa kedua orangtuaku. Aku janji akan menutup rambut kepala dan jika ada laki-laki yang melihat rambutku, dia harus menikahiku. Aku janji."

Untung saja waktu aku selesai bernadzar, nggak ada suara petir saling bersahutan. Bisa jantungan aku kalo itu terjadi.

Dan sampai sekarang aku masih setia menutup kepala dengan kain. Yah, walau kelakuanku kadang suka kumat-kumatan, tapi seenggaknya nggak sampai diluar batas wajar.

Walau sudah berjilbab aku masih sering main di lampu merah bersama anak-anak Punk. Tapi bedanya aku anak Punk yang islami karena berangkat pake rok, sampai di lampu merah pake celana jins. Kalo pulang aku kembali pake rok biar Ibu nggak curiga.

"Yo wes cah ayu.. bojoku sing ayu dhewek. Dhewek, dhewek, dhewek..." Bibirku terus saja mengeluarkan lantunan lagu-lagu kesukaanku.

Tiba-tiba Ninid masuk ke kamar tanpa permisi seperti biasa. Kulihat penampilannya dari pantulan cermin. Pagi-pagi gini dia sudah rapi pake baju lebaran tahun lalu, badannya juga wangi. Mau kemana dia?

"Mbak, pinjam kerudung pashmina yang warna hitam ya?" Pintanya tanpa menunggu persetujuanku dia sudah mengambil jilbab pashminaku di rak jilbab lalu berdiri di depanku untuk bercermin.

Aku sebenarnya suka kesal kalo dia pinjam-pinjam barangku. Tapi kalo aku nggak ngasih pinjam, dia bakalan ngadu ke Ibu dan Ibu bakal marahin aku. Jadi, daripada pagi-pagi perang bibir lebih baik aku biarkan saja dia ambil jilbabku.

"Mau ngelayab kemana kamu pagi-pagi? Ini masih jam 8 loh." Kataku sedikit senewen.

Adikku pagi-pagi sudah cantik pake baju lebaran dan kayaknya mau pergi jauh. Sedang aku di pagi weekend ini cuma sibuk sisirin rambut sambil nyanyi depan cermin dengan pakaian celana raining bekas SMK dan baju lengan panjang. Tentu saja aku iri pada Ninid!

All About Me and Him!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang