Sudah satu minggu penuh aku menginap di rumah Ibu. Semuanya masih sama, tidak ada yang berubah. Hubunganku dan Mas Dhanu masih menggantung karena dia menyuruhku untuk istirahat dan berpikir ulang. Aku tentu tidak butuh waktu lagi untuk berpikir ulang, karena keputusanku sudah bulat untuk bercerai.
Tapi, karena dia masih keukuh menolak perceraian, jadi aku sedikit mengulur waktu agar Mas Dhanu bersedia cerai secara baik-baik. Seperti kata Ibu waktu itu.
"Gimana perutmu, Ning? Masih enek?" Kepala Ibu muncul dari gorden pintu kamarku yang kebetulan pintunya tidak aku tutup.
Aku menggeleng lemah dengan posisi rebahan sedikit meringkuk. Keadaanku nggak baik-baik saja tiga hari belakangan. Perutku selalu mual dan enek. Pikirku, kayaknya aku keracunan cireng buatan Ninid deh. Tapi Ibu dan Ninid tidak percaya.
Ibu masuk ke kamar mendekatiku. Tangannya menyerahkan kantong plastik putih. Aku berdecak kesal. "Anaknya sakit tiga hari, tapi Ibu baru kepikiran belikan obat sekarang?"
"Ini bukan obat. Testpack, coba kamu cek. Ibu curiga kamu hamil."
Nggak Ambar, nggak Ibu. Semua orang menyebutku hamil. Padahal aku cuma keracunan cireng buatan Ninid.
"Nggak mungkin keracunan cireng. Lha wong Ibu juga makan cirengnya. Ninid yang bikin juga makan. Kamu malah nuduh adikmu yang nggak bersalah! Sudah, dicoba saja. Siapa tau beneran ada isinya."
"Nggak mungkin, Bu! Ning nggak mungkin bisa hamil." Bantahku. Aku yang tau kondisi tubuhku sendiri. Tidak mau berandai-andai sesuatu yang nggak mungkin bakal terjadi.
"Kenapa nggak mungkin? Lha kamu punya suami."
"Tapi kan Ning—"
"Coba saja dulu, Ning. Sekali saja nurut sama Ibu."
"Tapi aneh, Bu! Aku nggak hamil, ngapain testpack-testpack segala?"
"Wes tho Ning, nurut bae!"
Air muka Ibu sudah mulai berubah emosi. Daripada aku diamuk terus dikembalikan ke rumah Mas Dhanu, aku menuruti perintahnya. Bangkit pelan-pelan kemudian merebut kasar plastik di tangan Ibu. "Kalo Ning nggak hamil, Ibu harus masakin Ning rendang, ya!" Kataku.
"Iya, tapi beli dagingnya pake uangmu, ya."
Aku mengabaikan sahutannya sambil berlalu keluar kamar. Cih! Mentang-mentang tau aku di tinggali kartu ATM dari Mas Dhanu.
Setelah beberapa lama di kamar mandi, aku keluar membawa gelas kecil berisi cairan urine. Ternyata Ibu nggak cuma beli satu testpack, tapi tiga dan beda-beda merk. Niat sekali Ibuku ini, sampai rela membuang duit berharganya untuk membeli testpack.
"Apa hasilnya?" Ibu muncul nggak sabaran.
"Ini masih nunggu!" Kataku sewot.
Kita berdua kayak orang bodoh memandangi alat tes kehamilan yang lagi kucelupkan ke wadah urine. Nggak tau kenapa aku jadi deg-degan, takut omongan Ibu di kabulkan. Ya, aku memang pengin punya anak, tapi tidak untuk kondisi sekarang dengan hubungan pernikahanku yang lagi diujung perpisahan.
Testpack mulai muncul garis satu. Ibu sudah heboh. "Itu ada garisnya, Ning!"
Aku nggak menggubris. Setahuku kalo positif itu garisnya ada dua. Sampai cairan urine naik keatas, aku nggak melihat satu garis lagi. Hanya ada satu garis. Itu berarti aku nggak hamil. Alhamdulillah.
"Tuh, kan! Negatif! Dibilang cuma keracunan cireng kok ngeyel segala beli testpack." Sindirku pada Ibu sambil memperlihatkan hasil testpack di depannya.
"Lha kok kamu sewot? Ibu kan cuma penasaran siapa tau kamu hamil."
"Ya sewot lah! Mending aku beli obat mual di apotek." Kataku sambil membawa wadah urine untuk dibuang.
KAMU SEDANG MEMBACA
All About Me and Him!
Ficción GeneralAku malas dengan pelajaran Matematika sejak SD sampai lulus SMK, aku tidak suka Guru Matematika dan aku benci Mas Dhanu! Mas Dhanu, pria sok cool yang kebetulan di utus Tuhan untuk melihat rambut kepalaku disaat aku sudah ber-nadzar di hadapan yang...