7| Lara

161 23 0
                                    

Ternyata bertemu dengannya hanya menambah luka.

::::

"Aku kangen."

Dari duduknya Kaenan menatap cengok, terbengong, merasa sangat bodoh. Kaenan sama sekali tidak mengira apa yang ia lihat. Jeslin menunggu ibunya? Jeslin menunggu sendirian hampir empat setengah jam lamanya hanya untuk bertemu ibunya? Sungguh Kaenan mau gila. Ia pikir Jeslin mau bertemu seorang laki-laki.

"Jeslin kangen ma, kangen banget."

Jeslin terisak, menangis dalam pelukan Rania-mamanya. Ada kecewa dalam sudut hatinya ketika sadar Rania tidak kunjung membalas pelukannya.

Jemari lentik Rania terangkat, mencengkeram kuat lengan Jeslin.

"Jangan malu-maluin saya bisa kan?" desisnya penuh penekanan.

Bibir Jeslin bergetar hebat, hatinya seperti ditusuk ribuan kali. Ia diam, menahan semua isak yang semakin menjadi jadi.

Sedikit saja, apa wanita itu tidak merindukan putrinya sendiri? Jeslin ingin berteriak, ingin marah, namun semua itu tertahan dalam kepalan tangannya, ia tidak mau Rania pergi lagi. Ia tidak mau sendiri lagi. Sungguh Jeslin sesak memikirkan itu.

"Jangan nangis di depan umum. Lemah!"

Suara dingin ibunya terdengar lagi. Jemari lentiknya tergerak melepas kasar pelukan Jeslin, menatap dingin manik itu.

"Mama enggak kangen aku?"

Sesak sekali Jeslin mengatakan itu. Rania tidak menjawab, langsung melangkah penuh elegan menuju meja 07 dekat jendela. Jeslin mengusap kasar buliran bening yang membasahi pipi, hanya bisa menunduk melihat sikap Rania yang masih sama. Ia pikir setelah sekian lama Rania sedikit lebih berubah.

Jeslin menarik napas dalam, menenangkan diri agar tidak sampai tangisnya pecah lagi. Saat ia merasa cukup tenang. Ia kembali menampilkan senyum yang paling tulus yang ia punya.

Rasa sakit ini akan segera sembuh kan?

Rania sudah duduk begitu anggun, terlihat memesan sesuatu dengan salah satu pelayan di café ini. Jeslin duduk perlahan, tetap menampilkan senyum tulusnya.

"Apa Bani pernah pulang?" pertanyaan itu keluar pertama kali. Jeslin diam cukup lama.

"Pernah,"

"Seminggu berapa kali?"

Jeslin lagi diam, membuat Rania cukup kesal.

"Sebulan sekali ma, katanya papa sibuk, banyak urusan di luar kota?"

Sudut bibir Rania tersenyum remeh. "Urusan kantor apa urusan sama simpananya?!"

Jeslin tidak menjawab lagi, gadis itu tersenyum samar. Jemarinya tertaut gelisah.

"Mama kangen aku?"

Rania diam cukup lama, membalas kalimat Jeslin dengan deheman saja. Jeslin tersenyum lega, tidak apa-apa jika Rania masih bersikap sangat dingin.

"Apa saja yang kamu lakukan sampai tidak bisa memenangkan lomba?"

Napas Jeslin tercekat. Ia menggigit bibir bawah, menunduk takut melihat tatap tajam yang Rania tunjukan.

"Maaf."

"Si nol besar!" cebik Rania samar, namun Jeslin bisa mendengar.

"Kapan bisa membanggakan saya? Semua anak-anak teman saya selalu membawa piala disetiap lomba yang mereka ikuti, sekali saja jangan menjadi pecundang."

Rania berkata begitu lugas, mengabaikan perasaan Jeslin yang semakin terasa ngilu. Gadis itu hanya diam, menunduk menatap nanar pink smoothie yang tinggal setengah.

Hopeless [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang