33| Resah

104 10 5
                                    

Hallo:")

Lup semangatin aku dong💜
Waktu ada yang dm aku
"Kak update setiap hari dong, aku nungguin terus cerita ini"

Kalian harus percaya, aku selalu nunggu sekecil apa pun notif kalian di cerita ini, karena itu MOODBOOSTER in my life. Aku lebih semangat buat hadapin hari-hari aku. 

Ok don't too be long
Happy reading 💜

Manusia itu rumit, kadang tidak pernah peka ketika dia berhasil melukai hati seseorang, bersikap seolah-olah dialah orang yang pantas merasa sakit.

—HOPELESS—

Hanna menggigit bibir bawah takut, keringat dingin muncul lagi di kening, tubuhnya bergetar hebat. Napas gadis itu memburu melihat lampu di ruang kerja ayahnya masih menyala. Niat Hanna urung, ia kembali lagi ke kamar, menutup pintu perlahan dan mengunci pintu itu.

Jemarinya perlahan naik mencengkram kuat helai rambut. Rasa takut yang mendominasi membuat Hanna semakin hilang akal. Ia menarik napas dalam memenuhi rongga paru-paru yang sesak.

“Berpikir Han, berpikir biar lo bisa keluar dari rumah ini,”

Satu buliran bening jatuh bebas di pipi kiri Hanna, gemuruh dada gadis itu semakin menyesakkan. Ia menengadah menatap langit kamarnya.

“Balkon,” gumamnya pelan.

Ia membuang napas panjang, tersenyum getir. Tanpa pikir panjang Hanna berlari ke dekat balkon. Napas gadis itu tercekat, nekat untuk loncat bukan pilihan yang bagus.

Hanna menggigit bibir bawah, mulai berpikir lagi. Ia melangkah cepat memasuki kamar mengeluarkan semua sprei yang terlipat rapi, jemarinya dengan cepat mengikat sprei itu hingga membentuk seperti tali yang membentang.

Dengan cepat ia ikatkan ujung lipatan sprei pada kaki tempat tidurnya. Lebih dulu Hanna membuang napas panjang, meyakinkan diri jika semuanya akan baik-baik saja. Hanna turun perlahan mengedarkan pandang disekitar jika tidak ada yang tahu keberadaannya. Di bawah derasnya hujan, gadis itu mengendap keluar rumah melewati tembok yang cukup tinggi.

“Non Hanna, mau kemana?” suara satpam terdengar samar di bawah derasnya hujan.

Hanna sudah terlanjur pergi meninggalkan sejuta pertanyaan pada pria paruh baya itu.

—HOPELESS

Hanna turun dari taxi, berlari cepat memasuki rumah dengan warna putih yang mendominasi, tubuh gadis itu menggigil hebat, wajahnya memucat, dengan napas yang semakin memburu. Jemari lentik itu masih betah menekan tombol rumah secara brutal. Ia mengumpat, kenapa Rania lama sekali membuka pintu.

Ting… Tong…

Hanna menekan tombol rumah seperti orang kesetanan. Sampai akhirnya pintu terbuka namun Hanna dengan cepat mendorong pintu itu.

“Hanna?” Rania heran melihat putri kekasihnya dalam keadaan kacau seperti ini.

“Tante tolong aku, aku bisa mati kalau papa sampai tau,” lontar Hanna cepat.

Dikeadaan seperti ini ia tidak bisa mengontrol emosinya, semuanya terasa begitu menyesakkan. Rania, diam tidak mengerti kemana arah pembicaraan gadis itu.

Hopeless [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang