Ekstra

617 56 3
                                    

*POV.???"

Sudah sebulan aku sering kesini, berada di taman sendirian mencari ketenangan, semenjak ibuku meninggal aku tidak tau harus kemana, kenapa ibu harus pergi padahal aku belum melakukan apapun untuknya, pipiku terasa basah ketika air mata mulai mengalir turun, untuk apa hidup sekarang jika tidak ada yang peduli lagi denganku, meskipun aku memilih ayah sekarang dia hanyalah maniak kerja, jarang ada waktu untuk keluarga, dan dia juga bukan ayah kandungku, ayahku sudah meninggal sejak aku masih bayi.

Aku duduk di taman sampai hari menjelang malam, suasana disana cukup sepi, orang-orang sudah pulang kerumahnya masing-masing, meskipun begitu ini cukup bagus, aku hanya ingin ketenangan dan butuh waktu untuk sendiri sekarang, mengingat wajah orang itu dirumah membuatku malas untuk pulang.

Saat itu ketika sedang tenang duduk sendirian tiba-tiba terdengar keributan didekatku, itu cukup mengganggu waktu tenang yang sedang kurasakan, mencoba untuk bersikap tidak peduli tapi teriakan-teriakan terus bertambah intens, tergerak oleh rasa penasaran, aku mencoba untuk mendekati sumber suara, bersembunyi dibalik semak mengintip sekelompok anak seumuran ku sedang mengelilingi seorang gadis kecil dibelakang bangunan taman.

"Liat, kupikir siapa yang kita temukan", kata anak yang memiliki perawakan besar.

"Sial, aku pikir dia seorang gadis ternyata si laki-laki banci", ucap anak yang memiliki tubuh paling tinggi, mendengar perkataannya, semua temannya tertawa.

Tunggu dulu, dia laki-laki?, tapi bagaimanapun dia terlihat seperti perempuan yah meskipun pakaiannya memang tidak feminim.

"Hah, siapa yang kau pikir banci, bukankah itu dirimu sendiri, hanya berani membual ketika banyak orang", ucap gadis/laki itu, meskipun nadanya terdengar arogan tapi suaranya sangat lembut, tidak terdengar mengancam sama sekali.

"Apa kau bilang, sial apa kau ingin aku pukul hah", kata anak tinggi.

"Coba saja jika kau berani, cih paling juga keroyokan".

Anak tinggi itu tersenyum kemudian maju mendekatinya,
"Bersikap arogan seperti itu, kupikir kau perlu dikasih sedikit pelajaran", sambil meregangkan tangan,
"Sejak disekolah aku sudah muak dengan kelakuanmu itu, lelaki lem......akhhhh", perkataan anak itu terhenti ketika sebuah tendangan keras melesat menuju selangkangannya, kuh itu pasti sakit.

"Banyak omong, jika kau merasa laki-laki jangan banyak bacot", wah dia cukup berani berbuat seperti itu meskipun sedang terpojok.

"Zen kau tidak apa-apa", tanya si besar khawatir ketika temannya sedang berguling-guling ditanah memegangi selangkangannya.

"Gahhh sial, apa kau pikir aku terlihat baik-baik saja, cepat habisi dia", teriak anak itu disela-sela sakitnya.

Keempat anak itu saling memandang sebentar, kemudian tatapan mereka tertuju pada anak itu.

"Apa?, Sudah kuduga kalian hanya segerombolan pengecut yang hanya beraninya keroyokan", meskipun dalam keadaan seperti itu dia masih berani-beraninya memprovokasi mereka.

Tentu saja perkataannya menyulut emosi anak-anak itu,
"Dasar banci sialan, ayo kita habisi dia", teriak si besar.

Semuanya bersiap dalam posisi bertarung, anak itu juga bersiap, meskipun hanya sendiri tidak ada rasa takut dimatanya, apa dia seorang yang jago beladiri, sangat hebat.

*...*

Maaf kutarik kembali kata-kataku, kupikir ini akan jadi adegan perkelahian yang keren, tapi belum beberapa detik berlangsung anak itu sudah tumbang dipukuli oleh beberapa orang, dasar bodoh kenapa dia bersikap seperti itu jika akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa.

Ah, kupikir ini saatnya aku membantu, sial, kenapa malah jadi asik menonton, tapi bagaimana caranya, tidak mungkin juga langsung terjang saja, mereka berjumlah 4 orang jika tidak menghitung anak yang sedang berguling ditanah.

Apa aku harus..,
"Pak polisi kemarilah, disini ada yang sedang berkelahi", berteriak dengan volume yang kemungkinan dapat mereka dengar, yah inilah satu-satunya cara untuk menghentikan perkelahian tanpa harus mengeluarkan tenaga.

"Sial ada yang memanggil polisi", teriak si besar,
"Mari kita kabur".

Benar saja, mereka cukup bodoh untuk percaya padahal pada jam segini jarang ada orang yang berada di taman, dengan panik mereka berusaha kabur sekuat tenaga bahkan hampir meninggalkan si tinggi sebelum akhirnya kembali untuk membawanya.

Memastikan sudah tidak ada, aku keluar dari semak tempat persembunyian menghampiri anak itu yang sedang terkapar ditanah dengan beberapa bekas luka ditubuhnya, sial keadaannya sampai seperti ini.

"Apa kau tidak apa-apa", akh itu pertanyaan yang bodoh,
"Mari aku bantu", mengulurkan tanganku untuk membantunya bangun.

Dia meraih tanganku kemudian bangkit duduk sambil bersandar pada dinding,
"Terimakasih sudah menolongku", dia berkata dengan suaranya yang lembut.

"Yah, sudah seharusnya aku menolong mu".

Dia mencoba bergerak tapi tertahan karena rasa sakit,
"Kuh sial, mereka tidak segan-segan", mendengarnya mengumpat dengan tampilan seperti itu entah kenapa terasa aneh.

"Kenapa kau tidak lari saat ada kesempatan", tanyaku.

"Aku bukan pengecut".

"Bodoh, ini bukan masalah pengecut, kau seharusnya lari jika tau tidak mampu untuk menang, bukannya melawan seperti itu".

"Ini bukan masalah kekalahan atau kemenangan, yang terkait disini menyangkut masalah harga diriku sebagai lelaki", dia berkata dengan sungguh-sungguh, dimatanya tidak terlihat keraguan sama sekali.

"Tapi kau bahkan sampai terluka seperti ini".

"Aku bukan tipe orang yang menyerah hanya karena sesuatu menjadi kasar. Itu pengecut, bukan aku".

"Apa kau tidak takut".

"Yah sejujurnya aku juga sedikit takut, tapi terkadang seseorang harus melawan dengan tegas rasa takut mereka, bukan malah kabur dan menangis seperti pengecut, itulah yang mendiang ayahku katakan", kemudian dia menunduk,
"Aku tidak ingin membuat ayahku sedih dengan menjadi orang yang menyedihkan, jika menghadapi masalah seperti ini saja aku sudah lari, bagaimana bisa aku menghadapi ayahku nanti disana".

Perkataannya membuatku terdiam, dia sungguh orang yang kuat, mencoba dengan keras untuk menjalani hidup, secara tidak langsung aku merasa tersindir oleh ucapannya.

Sebelum meninggal ibuku bilang agar aku bisa hidup bahagia, tapi apa yang terjadi sekarang malah bersedih ditaman selama beberapa hari terakhir ini, berasa seakan hidup sia-sia, ibu pasti merasa sedih mengetahui keadaan ku sekarang.

Benar, aku bukanlah pengecut, aku harus bisa mencari kebahagiaan ku sendiri, dan aku tidak ingin membuat ibu bersedih.

Dengan tekad yang baru, aku akan berusaha, lalu melirik kembali padanya dan  memberikan senyuman tulus,
"Terimakasih", terimakasih karena sudah membuat pikiranku terbuka.

Dia merasa heran dengan ucapan terima kasih yang tiba-tiba dariku,
"Untuk apa itu".

"Tidak, bukan apa-apa, oh iya perkenalkan namaku Bagas", sambil mengulurkan tangan padanya.

Dia tersenyum dan meraih tanganku,
"Namaku Reihan, salam kenal juga".

Ukh, melihatnya tersenyum seperti itu entah kenapa terlihat imut meskipun terdapat beberapa bekas luka, tapi meskipun begitu itu senyuman paling berkesan dalam hidupku.

Saat itu juga kami mulai berteman dan menjadi sahabat yang tak pernah terpisahkan.

????

New LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang