1 - MARVEL & SEMESTANYA

68 7 0
                                    

CHAPTER 1

Anya meletup dengan semangat, "Harus gue akui, lo tadi keren banget, Shen! Tapi sayangnya, salah mangsa," ujarnya dengan tawa heboh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Anya meletup dengan semangat, "Harus gue akui, lo tadi keren banget, Shen! Tapi sayangnya, salah mangsa," ujarnya dengan tawa heboh.

Ghea, di sisi lain, hanya bisa menggeleng prihatin, "Lo sadar kan, Shen? Lo baru aja ngebangunin singa yang lagi tidur."

Shena menundukkan kepala, melipat kedua tangan di atas meja, seolah berusaha menutupi wajahnya dari kenyataan pahit yang akan segera datang. Pikiran tentang Marvel yang pasti tak akan tinggal diam mulai menghantui benaknya. Hidupnya yang tadinya tenang kini di ambang teror yang tak terelakkan.

"Tapi kalo gue jadi lo, pasti malu setengah mati deh. Udah ngamuk-ngamuk kayak Kingkong, eh, ternyata salah orang," lanjut Anya dengan senyum jahil.

Shena hanya bisa menenggelamkan wajahnya lebih dalam, suaranya keluar pelan, "Gue harus gimana sekarang?"

Anya mengangkat bahu. "Gimana kalo lo minta maaf?"

Ghea menoyor pundak Anya sambil mendelik, "Itu namanya cari mati! Udah pasti nggak bakal dimaafin sama Kak Marvel."

"Minta maaf lewat Kak Jaefran aja? Kan dia sahabatnya Marvel," Anya menyarankan dengan senyum cerah yang seolah menemukan solusi.

"Di kamus hidup Kak Marvel nggak ada kata ‘maaf,’ adanya cuma ‘impas.’" tambah Ghea

Marvel Varexa Danendra, cowok tampan sekaligus kapten tim basket yang namanya terdengar sampai ke sekolah-sekolah lain. Tinggi, berbakat di musik, tukang buat keributan, dan biang onar. Beberapa siswi yang pernah mencoba mendekati Marvel bilang, cowok itu dinginnya ngalahin kutub utara—lebih cuek daripada kulkas 35 pintu.

Shena semakin gusar, "Pengen pindah planet rasanya! Ke Mars aja, mungkin di sana lebih damai."

Anya terkekeh, "Saran gue sih, tetep minta maaf aja, walaupun lo tahu dia nggak bakal maafin juga."

***

Bel pulang sudah berbunyi lima menit yang lalu, namun Shena baru keluar kelas setelah menyelesaikan tugas piket. Sekolah hampir kosong, hanya menyisakan beberapa murid yang mengikuti ekstrakurikuler.

"Shena!"

Sebuah suara memecah kesunyian. Shena menoleh, melihat Jaefran, ketua OSIS yang juga dikenal sebagai sahabat dekat Marvel, melangkah mendekatinya.

"Iya, Kak?"

Jaefran berhenti di depannya, tersenyum tipis. "Besok jangan lupa rapat OSIS, ya. Kita bakal bahas acara kunjungan ke panti asuhan minggu depan."

"Baik, Kak."

Jaefran mengeluarkan beberapa lembar kertas yang tersusun rapi dan menyerahkannya kepada Shena. "Ini proposalnya. Belum selesai karena gue mau lo revisi dulu."

"Secepatnya kasih ke gue supaya bisa konfirmasi ke kepala sekolah," lanjut Jaefran, dan Shena mengangguk.

"Ada lagi, Kak?" tanya Shena, melihat Jaefran masih berdiri di tempatnya. Ada sedikit kerutan di keningnya, tak biasa melihat Jaefran ragu-ragu.

Senyum Jaefran semakin melebar, entah kenapa terasa menyindir. "Oh, iya. Pastikan nggak ada yang bawa pisau ya. Gue takut nanti ada yang berantem justru disodorin pisau."

Shena tertegun, bibirnya terkunci rapat. Sebuah komentar yang terasa janggal, mengingat Jaefran adalah sahabat dekat Marvel. Meski begitu, dia memilih diam, tak mau berprasangka. Meskipun ia tahu, perkataan itu seolah menyindirnya.

"Baik, Kak. Itu saja?"

"Yup, itu aja. Proposalnya gue tunggu dua hari lagi, ya. Makasih." Jaefran melambaikan tangan dan berbalik.

Begitu Jaefran menghilang, Shena mendesah. "Ngga temennya, ngga Marvel. Semua sama aja. Emang dasar satu spesies," gerutunya pelan.

"Ngomongin gue?"

Shena tersentak, suaranya hampir lenyap ditelan keterkejutan. Kepalanya berputar, mencari sumber suara, hingga matanya menangkap sosok Marvel, bersandar santai di gerbang sekolah dengan tangan terlipat di dada.

"Hah?" Shena tergagap. "Nggak, Kak! Saya ngomongin Marvel yang Avengers, bukan Kak Marvel."

Marvel menyipitkan matanya, senyum dingin menghiasi bibirnya. "Lo pikir gue ngga bisa dengar?"

Shena mencoba menelan ludah, otaknya mencari alasan untuk menghindar. Tapi kali ini, tampaknya tak ada jalan keluar.

"Maaf, Kak. Untuk kejadian di kantin tadi, saya—"

"Lo bisa jelasin langsung ke yang berwajib," potong Marvel dengan cepat.

Shena melotot. "Lho? Saya di-laporin ke polisi?!"

Marvel menatapnya dengan ekspresi datar. "Menurut lo?"

"Saya udah minta maaf tadi, Kak."

"Kalo kata maaf bisa nyelesain semua masalah, buat apa ada polisi?" ujar Marvel tajam.

Shena tak bisa membalas. Di hadapan Marvel, setiap kata terasa tak berdaya.

"Tadi lo nanya apa? Sekolah ini punya nenek moyang gue?" Marvel mendekat, matanya memancarkan hawa dingin yang membuat Shena terdiam.

"Ya, sekolah ini bukan punya nenek moyang gue. Soalnya punya kakek gue." Kalimat itu jatuh seperti batu besar, menghantam batin Shena dengan keras. Fakta itu menyakitkan dan tak terduga.

"Marvel menundukkan kepalanya, mendekatkan wajahnya ke Shena. "Denger-denger lo anak beasiswa, ya?" bisiknya pelan. "Seru juga kalo beasiswa lo dicabut."

Deg. Jantung Shena seakan jatuh ke perut. Beasiswa yang ia perjuangkan mati-matian, hingga rela masuk rumah sakit karena kelelahan belajar, terancam hilang begitu saja?

"Kasih gue penawaran yang menguntungkan," ucap Marvel pelan, namun penuh tekanan, "supaya beasiswa lo tetep aman."

Penawaran? Apa yang bisa ia tawarkan pada Marvel, seseorang yang tampaknya memiliki segalanya?

"Gimana kalo saya kasih tiga permintaan?" tawar Shena, putus asa.

Marvel menggeleng, senyum tipis masih menghiasi wajahnya. "Tujuh."

"Tujuh? Nggak bisa, Kak—"

"Ya udah, kalau nggak bisa," Marvel berbalik, melangkah menuju motornya.

"Oke-oke!" Shena buru-buru menarik lengannya. "Tujuh permintaan!"

"Marvel berhenti, lalu menoleh ke arahnya dengan mata penuh kemenangan. "Permintaan pertama, kerjain tugas sekolah gue selama satu bulan."

Tbc

Mervel & Semestanya (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang