33 - MARVEL & SEMESTANYA

27 5 0
                                    

CHAPTER 33

"Wah, kebetulan banget! Saya belum pernah lihat Shena di sekolah, jadi ngga begitu kenal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Wah, kebetulan banget! Saya belum pernah lihat Shena di sekolah, jadi ngga begitu kenal."

***

Pembohong ulung. Gavin pantas diberi piala Oscar sekarang juga. Setiap kalimatnya seolah sudah dipoles sempurna, seperti aktor yang tak diragukan lagi kemampuannya.

"Sebentar ya, Om mau angkat telepon," Andra menatap Shena sejenak, sebelum melangkah keluar. "Papa keluar sebentar ya, Shena."

Shena hanya bisa mendesah pelan. Kini ia terjebak dalam satu ruangan bersama orang yang paling tidak ingin ia temui. Gavin, si kakak kelas sok kenal yang selalu muncul di saat-saat yang tidak diinginkan, duduk dengan santai di kursi di samping ranjangnya, kedua tangannya terlipat di depan dada. Ia terlihat nyaman—terlalu nyaman untuk seseorang yang tidak diundang.

"Lo bisa pergi sekarang!" ujar Shena ketus, nada suaranya penuh perintah.

Namun Gavin hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. "Ngga mau."

Shena memutar bola matanya, frustrasi. "Terus lo ngapain masih di sini? Jangan-jangan lo penguntit yang berkedok nolongin keluarga gue, ya?"

Gavin tertawa ringan, kemudian menunjuk dirinya sendiri dengan mimik tak percaya. "Gue jadi penguntit lo? Percaya diri boleh, tapi jangan terlalu pede juga, dong."

"Bodo amat!" balas Shena tanpa segan.

Gavin menatapnya dengan tatapan mengejek. "Lo benci banget sama gue, ya?"

Shena mengangkat dagunya, memberikan tatapan penuh kebencian. "Iya, kelihatan kan? Gue emang nggak suka sama lo."

Bagaimana bisa Shena tidak benci? Selain fakta bahwa Gavin adalah rival abadi pacarnya, cowok itu juga adalah salah satu orang teraneh yang pernah ia temui. Kehadirannya selalu mengusik, seolah ia tidak tahu kapan harus berhenti.

"Ngga apa-apa," kata Gavin dengan tenang. "Benci gue aja terus. Semua itu biasanya dimulai dari nggak suka, baru nanti jadi cinta."

Shena mendengus. Ia menirukan nada bicara Gavin dengan sempurna. "Percaya diri boleh, tapi jangan terlalu pede juga, dong."

Gavin terkekeh, lalu mendekatkan wajahnya sedikit. "Apa ini semua karena Marvel?"

Shena terdiam sesaat, lalu mengerutkan kening. "Maksudnya?"

"Lo nggak suka sama gue karena gue rival pacar lo?"

Kepala Shena langsung mengangguk cepat. "Iya, tapi itu cuma 15%. Sisanya? Gue emang beneran ngga suka sama lo."

Gavin tersenyum tipis, seolah tidak terpengaruh oleh jawaban itu. Namun, ada perubahan dalam sorot matanya—sesuatu yang lebih dalam dan tak terucapkan. "Jangankan lo," gumamnya, "gue aja kadang ngga suka sama diri gue sendiri."

Shena tertegun. Untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang berbeda dari Gavin. Nada suaranya berubah menjadi lebih rendah, lebih berat, seolah menanggung beban yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya. "Selain gagal jadi cowok, gue juga gagal jadi sahabat. Gagal dalam banyak hal yang bikin gue benci sama diri sendiri."

Gavin menundukkan kepala, menatap jemarinya yang terlipat di pangkuannya. Ada jeda panjang sebelum ia kembali mendongak, dan ketika Shena menatap matanya, ada kesedihan yang begitu mendalam. Apakah ini benar? pikir Shena. Atau hanya akting lagi?

"Maaf, Kak. Gue ngga bermaksud nyinggung perasaan lo," kata Shena akhirnya, merasa sedikit bersalah.

"It’s okay," jawab Gavin singkat. Suasana tiba-tiba menjadi canggung. Shena merasa salah tingkah, tidak tahu bagaimana harus melanjutkan pembicaraan.

Lalu, Gavin kembali bicara. "Kalau gue bilang Marvel pernah jadi sahabat deket gue, lo percaya nggak?"

Shena mengerutkan dahi, sulit membayangkan hal itu. "Agak sulit dipercaya, sih."

"Tapi itu kenyataan," kata Gavin, senyum pahit menghiasi wajahnya. "Dulu kita sering dibilang Upin-Ipin di sekolah. Sebelum semuanya berubah... sebelum semesta merusak segalanya."

"Kenapa ngga coba diomongin baik-baik?" tanya Shena.

"Kalo seseorang udah benci mau sebanyak apapun lo berusaha membuktikan kebenaran, mereka ngga akan membutuhkannya."

Shena menelan ludah. "Apa ini semua gara-gara Kak Alesya?"

Mendengar nama itu, Gavin tampak terkejut. "Lo tahu Alesya?"

"Iya," jawab Shena, suaranya pelan. "Kak Marvel pernah ngajak gue ke makamnya.

Ada kesunyian yang menggantung di antara mereka, sebelum Gavin dengan hati-hati menarik kerah kemejanya sedikit, memperlihatkan bekas luka di perutnya. Shena tertegun, tidak menyangka akan melihat hal itu. "Marvel ngga pernah tahu gue hampir kehilangan nyawa waktu nyelamatin Alesya."

Shena menatap Gavin, terdiam mendengarkan.

"Dia pikir gue dalang di balik penculikan yang ngebunuh Alesya, karena gue satu-satunya yang ada di sana waktu itu," lanjut Gavin, suaranya lirih. "Tapi kenyataannya, gue hampir mati tertusuk pisau buat nyelamatin dia. Alesya... dia yang akhirnya nembak dirinya sendiri, tepat di depan mata gue."

Mata Gavin kini terlihat sendu. Cerita itu seolah merobek kembali luka lama yang telah lama terkubur. Shena merasakan getir dalam setiap kata yang ia ucapkan, dan itu membuat hatinya ikut sakit.

"Ngorbanin nyawa buat orang lain yang bunuh diri di depan mata lo sendiri, dan lo malah dicap sebagai pembunuh," kata Gavin dengan nada getir, menatap Shena dalam-dalam. "Jadi, siapa yang sebenarnya harus trauma, Shen?".

Shena tidak mampu berkata-kata. Ia mencari kebohongan dalam tatapan Gavin, namun yang ia temukan hanyalah kesedihan dan kekecewaan yang dalam.

"Kak Gavin boleh cerita semuanya," kata Shena akhirnya, suaranya lembut. "Gue mau dengerin sampai selesai."

Gavin tersenyum tipis, namun tidak ada keceriaan di dalamnya. "Anehnya, gue nggak bisa benci mereka," gumamnya. "Dulu, mereka pernah jadi rumah gue... tempat gue pulang."

"Mungkin semesta punya cara lain untuk menyatukan kalian lagi," ujar Shena pelan.

Gavin terkekeh pahit. "Atau mungkin ini cara semesta buat menghukum gue... karena terlalu jahat sama kehidupan."

Shena menggeleng pelan. "Semesta mungkin punya norma, tapi kehidupan ini milik kita. Bukan Kak Gavin yang jahat... mungkin semesta yang nggak pernah berpihak."

Gavin tertawa kecil, meski jelas terasa getir. "Gue jadi malu cerita ini ke lo."

Shena tersenyum simpul. "Gimana perasaan Kak Gavin? Apa sekarang udah lega?"

Gavin menghembuskan napas panjang, seolah melepaskan beban berat. "Seperti ada yang sedikit berkurang dari hidup gue." Ia berdiri dari kursinya dan menatap Shena. "Makasih ya, udah mau dengerin."

"Sama-sama," jawab Shena.

Gavin berjalan menuju pintu, lalu menoleh ke belakang dengan senyum samar. "Gue bakal bales kebaikan lo suatu hari nanti, Shen. Secepatnya."

Tbc

Mervel & Semestanya (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang