46 - MARVEL & SEMESTANYA

27 5 0
                                    

CHAPTER 46

Suara sirine ambulans memenuhi udara, membuat Marvel merasakan dejavu yang menyesakkan dada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara sirine ambulans memenuhi udara, membuat Marvel merasakan dejavu yang menyesakkan dada. Bayangan hari ketika ia terakhir kali mengantar Alesya kembali berputar di kepalanya, seolah menciptakan luka yang belum sembuh. Tidak, Marvel belum siap. Belum siap kehilangan seseorang yang ia cintai, lagi.

Waktu di ruang tunggu terasa begitu lambat, seolah jam berdetak lebih lambat dari biasanya. Berjam-jam menanti di luar ruang operasi, Marvel menahan setiap desakan rasa cemas yang menyerbu, sampai akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Semua orang segera berdiri, mendekat dengan penuh harapan yang menggantung tipis.

Melody, yang baru saja melepas sarung tangannya, melirik sekilas ke arah Marvel. Ada beban berat yang ia bawa, bukan hanya sebagai dokter yang baru saja berjuang di ruang operasi, tapi juga sebagai kakak yang harus menghadapi kenyataan bahwa adiknya akan terluka lebih dalam lagi. Namun, ini adalah tugasnya. Ia harus menyampaikan kabar itu, meski tahu konsekuensinya.

"Apakah ada keluarga pasien?" tanyanya dengan suara berat.

Raini, ibu Shena, maju sambil mengangkat tangannya. "Saya... saya mamanya, Dok. Bagaimana keadaan anak saya?" suaranya bergetar, hampir tak berani mendengar jawabannya.

Melody menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan kabar yang akan menghancurkan semua harapan. "Pasien mengalami sudden cardiac arrest... jantungnya berhenti berdetak tiba-tiba. Ini kondisi darurat yang membutuhkan penanganan segera," ucapnya perlahan, menatap langsung ke mata Raini.

Raini menggenggam tangan Andra, suaminya, erat. Matanya mulai berkaca-kaca. "Jadi... jadi gimana, Dok? Apakah Shena baik-baik saja?"

Melody menundukkan pandangannya. "Saat tiba di rumah sakit, kondisi Shena sudah tidak sadarkan diri. Kami, tim dokter, telah berusaha semaksimal mungkin... Tapi..." ia berhenti sejenak, menahan suara yang nyaris pecah. "Pasien atas nama Shena Chalisya dinyatakan meninggal dunia."

Kalimat itu jatuh seperti pecahan kaca yang menghancurkan segalanya. Dalam sekejap, suara isak tangis memenuhi lorong rumah sakit. Raini langsung jatuh terduduk di lantai, memeluk Andra yang juga tak kuasa menahan air matanya. Tangis mereka begitu keras, begitu dalam—melukiskan kehancuran yang hanya bisa dirasakan oleh orang tua yang kehilangan anak satu-satunya.

"Ngga mungkin... Shena ngga mungkin meninggal," ucap Marvel lirih, suaranya hampir tenggelam dalam gemuruh kesedihan di sekitarnya.

Melody menatapnya dengan penuh iba, tetapi juga tegas. "Marvel, kami sudah melakukan segalanya. Shena telah meninggal dunia," ulangnya dengan hati-hati.

Marvel menggelengkan kepalanya, menolak kenyataan yang ada di depannya. "Dia belum meninggal! Dia belum meninggalkan gue!" ucapnya lebih keras, matanya memerah, hampir tak bisa menerima kebenaran itu.

Melody berdiri di hadapannya, air mata menggenang di sudut matanya. "Marvel, ini bukan cuma tentang lo. Kita semua kehilangan. Shena adalah bagian dari hidup kita semua," ucapnya lembut.

Dunia Marvel runtuh saat itu juga. Setiap kenangan tentang Shena—senyumnya, tawanya, caranya merutuki Marvel dengan candaan khasnya—seketika berubah menjadi bayangan kelam tentang hidup tanpa gadis itu. Semua momen yang belum sempat mereka jalani bersama kini sirna, meninggalkan kekosongan yang tak tertahankan. Marvel merasa seolah waktu telah mencuri segalanya dari dirinya.

"Kak... gue harus hidup seperti apa sekarang?" tanyanya lirih, suaranya serak, hampir tak terdengar. Air matanya mulai jatuh, wajahnya menelungkup dalam tangannya, menangis sejadi-jadinya.

Melody berdiri di sana, menyaksikan adiknya yang tak pernah terlihat sehancur ini. Marvel yang selama ini tegar, kini tampak seperti pria yang tak lagi memiliki arah dalam hidup. "Kalau Shena masih ada, dia pasti akan bilang lo harus terus hidup dengan menjadi orang baik," ucap Melody, suaranya lembut namun tegas.

***

Keluarga besar SMA Khalista, mengucapkan

TURUT BERDUKA CITA
atas wafatnya :

SHENA CHALISYA
(Siswi SMA Khalista kelas 10 IPA 3)
Wafat : 13 Januari 2022

Hari penguburan tiba. Bendera kuning berkibar di depan rumah Shena, sebuah simbol yang semakin menegaskan bahwa gadis itu benar-benar telah pergi. Satu persatu, teman-teman sekolah dan guru-guru dari SMA Khalista datang untuk mengantarkan Shena ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Marvel memandangi bendera itu lama, terlalu lama, seolah berharap dengan menatapnya, kenyataan akan berubah. Tapi tidak ada yang berubah. Shena sudah pergi.

"Kalau lo sedih, nanti Shena ikutan sedih, Vel," ucap Jaefran, yang tiba-tiba datang dari belakang dan memeluk Marvel erat. Jaefran sudah jarang melihat Marvel tersenyum sejak hari itu. Wajah tampannya kini terlihat kusut, dengan kantung mata hitam yang menandakan kurang tidur selama berhari-hari.

"Kita ikhlasin ya, Vel," ucap Jaefran pelan.

Marvel tak menjawab. Tatapannya kosong, seolah kehilangan arah dan makna hidup. "Susah, Jae... terlalu susah," gumamnya pelan.

Jenazah Shena kini diangkat ke dalam tenda. Tangisan mulai terdengar lagi, makin ramai saat jenazah Shena diturunkan ke liang lahat. Satu per satu bunga diletakkan di atas kuburannya, semua orang perlahan pergi meninggalkan tempat itu, kecuali Marvel yang masih duduk di sana, memandangi nisan dengan tatapan hampa.

"Pada akhirnya... lo juga ninggalin gue, kan?" bisik Marvel dengan suara gemetar. Tangis yang selama ini ditahan akhirnya pecah. Ia mengelus batu nisan Shena dengan lembut, seolah berharap bisa merasakan hangatnya gadis itu sekali lagi. "Semesta sebercanda itu, ya, sama kita?" lanjutnya dengan suara parau.

Dia teringat semua kenangan bersama Shena—semua momen kecil yang membuat hidupnya lebih berwarna. Shena yang selalu meneleponnya di tengah malam ketika tak bisa tidur, Shena yang selalu mengandalkan Marvel ketika ia butuh bahu untuk bersandar. Tapi sekarang? Semuanya sudah berakhir.

"Semesta yang mempertemukan kita dengan cara yang tak terduga, tapi memisahkan kita dengan cara yang begitu kejam." Marvel tersenyum pahit, air matanya terus mengalir tanpa henti. "Siapa yang gue harus salahin? Semesta yang nggak pernah berpihak sama kita, atau diri gue sendiri yang terlalu jahat sama hidup ini?"

Dia mengusap matanya dengan kasar, lalu menunduk, tangisnya kembali pecah. "Hukum gue dengan cara apapun... tapi jangan hukum gue dengan kehilangan lo, Shena... Gue ngga siap."

Shena, semesta dalam hidup Marvel, kini telah pergi. Semesta yang Marvel harap akan selalu menjadi bagian dari hidupnya, ternyata hanya memberinya kebahagiaan sementara. Sekarang, yang tersisa hanyalah kenangan—kenangan yang akan terus menghantuinya di setiap langkah.

Marvel dan semestanya, yang kini hanya tinggal kenangan.

Tbc

Mervel & Semestanya (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang