34 - MARVEL & SEMESTANYA

26 5 0
                                    

CHAPTER 34

Marvel melangkah menyusuri koridor sekolah dengan langkah lamban

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Marvel melangkah menyusuri koridor sekolah dengan langkah lamban. Biasanya, kantin adalah tempat yang menarik baginya, tempat yang penuh keramaian untuk melupakan sejenak beban di pundaknya. Tapi tidak hari ini. Pikirannya terlalu penuh, dan kantin tak lagi menawarkan pelarian yang ia butuhkan. Tanpa banyak berpikir, ia memutuskan untuk menuju rooftop—tempat di mana ia bisa sendirian dan melepaskan diri dari semua itu.

Angin di atas sana selalu terasa berbeda. Membiarkan pikirannya mengambang, Marvel berharap bisa menemukan ketenangan meski hanya sejenak.

Namun, sebelum langkahnya sampai ke tangga, suara dari kejauhan menghentikan langkahnya. Ia mengenali suara itu—Shena.

"Gimana keadaan lo sekarang?" Suara Gavin bergema samar dari ujung lorong.

"Udah baikan," jawab Shena dengan nada lembut yang akrab di telinga Marvel. "Kak Gavin ke rumah sakit ngapain?"

"Jagain nenek gue. Dia masih sakit."

Shena terdiam sejenak, sebelum melanjutkan. "Oh. Salam ya buat neneknya."

Marvel memaku langkahnya. Lagi-lagi perpustakaan menjadi saksi pertemuan mereka. Tempat yang dulu ia sukai kini menjadi titik perasaan tak nyaman. Pandangannya terarah pada Shena dan Gavin yang keluar dari perpustakaan bersama, seperti dua orang yang terperangkap dalam dunia kecil mereka sendiri.

Marvel tak ingin berurusan lagi. Baginya, tidak ada gunanya memulai pertengkaran atau mencari penjelasan. Ia hanya ingin menjauh—dari mereka, dari situasi ini, dari semua orang.

Dengan langkah panjang, Marvel melewati mereka berdua tanpa sepatah kata pun, seolah ia adalah bayangan yang tak terlihat. Kedua orang itu terdiam, mungkin terkejut melihatnya, namun Marvel tak peduli. Yang ia butuhkan saat ini hanyalah ruang kosong di dalam dirinya.

Setibanya di rooftop, Marvel menghentakkan tasnya ke lantai dan mengumpat, "Sial!"

Ia menjatuhkan tubuhnya di kursi panjang, meletakkan seragamnya di atas wajah, mencoba menghalangi sinar matahari yang menyengat. Mata terpejam, namun pikirannya berlari tak tentu arah, penuh dengan beban yang seolah tak kunjung berakhir.

"Kak Marvel?" Suara lembut itu memecah kesunyian. Marvel menegang di tempat, mengenali siapa yang berbicara.

"Tidur ya?" tanya Shena, meski Marvel tetap berpura-pura terlelap. Napasnya tertahan di balik seragam yang menutupi wajahnya.

Lalu ia merasakan kehadirannya. Shena duduk di sampingnya, diam, namun entah bagaimana, Marvel merasakan sinar matahari tak lagi mengganggu wajahnya. Shena menggunakan tubuhnya untuk melindungi Marvel dari panasnya.

"Kenapa tidur di sini? Padahal panas banget lho," gumam Shena, suaranya lembut tapi mengandung keprihatinan. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap rambut Marvel. Sentuhannya terasa ringan, namun sarat dengan makna.

"Tapi tempat ini memang paling enak untuk kabur dari semua orang," lanjut Shena "Tentang hubungan kita... saya minta maaf kalo terlalu banyak ikut campur sampai akhirnya ngejauhin Kak Marvel selama ini."

Marvel tetap diam, meski di balik seragam yang menutupi wajahnya, pikirannya mulai berputar lebih cepat.

"Saya kira awalnya akan lebih mudah, saling mengobati satu sama lain. Tapi saya lupa... kita adalah dua orang yang sama-sama terluka dan egois, masing-masing berharap disembuhkan lebih dulu." Shena menarik napas dalam-dalam, suaranya terdengar berat. "Bukannya kita malah menambah luka?"

Marvel merasakan seragam yang menutupi wajahnya semakin pengap, membuatnya sulit untuk terus berpura-pura tidur. Kata-kata Shena menembus benteng yang selama ini ia coba bangun.

"Kak Marvel..." Shena berbisik, suaranya terdengar hampir putus asa. "Kita butuh dokter buat nyembuhin luka kita, bukan pasien yang sama-sama terluka."

Akhirnya, Marvel menyerah. Ia menarik seragam yang menutupi wajahnya, membuka matanya, dan menatap langsung ke mata Shena yang penuh dengan kesedihan.

"Kak Marvel kebangun ya?" Shena cepat-cepat berdiri, terlihat canggung. "Maaf kalo saya ganggu."

"Shen," suara Marvel berat, dipenuhi keletihan yang telah lama ia pendam. "Gue selesai."

Shena mengerutkan kening, bingung. 'Selesai apa?"

Marvel menarik napas panjang, menundukkan pandangannya sejenak. "Selesai mencintai lo."

Kata-katanya menggantung di udara. Shena terdiam, dan keheningan itu terasa seperti beban yang semakin berat.

"Gue lelah," lanjut Marvel. "Selama ini, gue selalu memaksa diri buat sehat, buat ngerti semuanya. Gue kasih lo waktu, tapi gue sendiri juga butuh waktu itu. Tapi lo bilang... kita cuma dua orang sakit yang ngga bisa nyembuhin satu sama lain. Gue udah berusaha untuk sembuh sendiri, supaya gue bisa bantu lo sembuh juga."

Shena menunduk. "Kita sama-sama terluka, Kak. Kita nggak bisa saling menyembuhkan."

"Bukan soal lukanya, Shen. Ini soal perjuangannya," balas Marvel, nadanya lirih namun tegas

"Tetap ngga bisa kak"

"Lo mau cara sembuh yang seperti apa lagi Shena?"

Shena memejamkan mata sejenak. "Kak Marvel sadar nggak... hubungan ini rumit? Kita sama-sama peduli, kita sama-sama takut kehilangan, tapi kita dua orang yang gagal dalam hubungan ini,".

Semuanya semakin jelas. Hubungan mereka sejak awal sudah tak sehat—dua orang yang saling memaksa untuk mengerti, tapi tak pernah benar-benar paham.

"Ayo putus," kata Marvel, suaranya tenang tapi dingin. "Ini permintaan gue yang ke-enam."

Dua kata yang sederhana, namun dampaknya begitu besar. Shena merasakan dadanya sesak, seolah seluruh dunianya runtuh dalam sekejap. Air mata menggenang di pelupuk matanya, tapi ia menahan diri untuk tidak menangis.

"Iya..." jawab Shena akhirnya, suaranya serak. "Ayo kita udahin semuanya."

Marvel menatap Shena, mengamati setiap ekspresi di wajahnya. “Lo sembuhkan diri lo sendiri, dan gue akan menyelesaikan masa lalu gue,” kata Marvel pelan. "Setelah itu... kembalilah sebagai dua orang yang bisa saling mencintai."

"Atau mungkin kita hanya akan kembali sebagai dua orang yang pernah saling mencintai," tambah Marvel, dengan nada yang lebih pedih.

Hari ini adalah hari yang akan terasa seperti mimpi buruk panjang. Setiap detik akan terasa berlipat ganda, seperti waktu bergerak lebih lambat dari biasanya. Keduanya akan berusaha tertawa, berpura-pura kuat, tapi di dalam, mereka tahu kebenarannya.

"Saya akan berusaha melupakan Kak Marvel," bisik Shena, suaranya hampir pecah.

Marvel tersenyum, senyum yang penuh kegetiran. "Semoga lo bisa nyayangi diri lo sendiri dulu... sebelum nyayangi orang lain."

Shena mengangguk lemah. "Iya..."

Marvel mengangguk, lalu tersenyum tulus—senyum yang terasa begitu menyakitkan bagi Shena. "Lo akan selalu jadi tokoh utama dalam cerita gue."

Tbc

Mervel & Semestanya (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang