25

75 24 71
                                    

Pagi yang indah dan cerah, seluruh siswa-siswi berhamburan masuk kedalam kelas untuk memulai pelajaran.

"Sebelum memulai pelajaran, ibu akan memberitahu kalian bahwa kalian kedatangan teman baru" ujar Bu Cindy guru mata pelajaran sejarah sekaligus wali kelas XII IPS 1.

"Silahkan masuk, dan perkenalkan diri kamu" ucap Bu Cindy kepada murid baru.

Siswa tersebut melangkah masuk dan berdiri didepan papan tulis menghadap murid kelas XII IPS 1.

Zia terkejut dengan kedatangan murid baru tersebut. Karena ia tahu bahwa siswa itu adalah saudara David.

"Gue Rafael Deandra, panggil aja Rafael" uca Rafael sambil menatap Zia dan tersenyum smirk.

"Itu bukannya saudara David yang gue lihat di acara keluarga besar kakek Leo?" ucap Zia pada diri sendiri sambil memperhatikan Rafael yang tersenyum pada dirinya.

"Silahkan duduk disebelah kanan Zia Rafael" ucap Bu Cindy sambil menunjuk tempat duduk Rafael.

Rafael melangkah menuju tempatnya dan menatap Zia dengan tatapan yang tidak bisa diartikan oleh Zia.

"Nggak nyangka ketemu lagi kita" bisik Rafael dari tempat duduknya sambil tersenyum.

Zia memutar bola matanya malas, lalu ia mengeluarkan buku dan pulpen untuk mengikuti pelajaran hari ini.

****

Zia melangkah ke kantin sendirian, karena Vanessa masih mencuekkinya. Jujur, ini pertama kalinya Vanessa marah kepadanya selama ini. Biasanya beberapa menit mereka akur kembali seperti semula.

"Gimana hubungan lo sama David?" ucap seseorang dari samping.

Zia menoleh dan ternyata Rafael berada disampingnya yang ikut berjalan bersamanya. Zia tak menjawab, karena bagi dirinya tidak penting.

Rafael mengamati mimik wajah Zia dari samping dan ternyata benar, dirinya telah jatuh hati kepada Zia saat pertemuan diacara Leo. "Lo cantik, pantesnya lo dapat yang lebih dari David"

Setelah itu, Rafael melenggang pergi mendahului Zia. Zia berhenti sejenak, ia memiliki feeling bahwa Rafael menyukai nya. Karena dari cara tatapan Rafael menunjukkan bahwa ia menyukai dirinya. Namun, Zia bersih keras untuk melupakan feeling itu.

Zia melanjutkan langkahnya, namun...

"Jauhin David!" ucap seseorang dari belakang menghentikan langkah Zia.

Zia balik badan menghadap Maura yang menatapnya sengit. "Lo siapa gue?"

"Harus berapa kali gue bilang supaya lo ngerti hah? Nggak ada harga dirinya banget lo" ucap Maura tepat didepan wajah Zia.

Zia terkekeh kecil, "Ngomongin diri sendiri mba?"

"Maksud lo?"

"Kasian ya ngemis mulu ujung-ujungnya ditolak mentah-mentah. Nggak cape ngemis terus minta jadi pacar sama cowok yang udah nolak lo beberapa kali? Kalo gue sih ogah ngemis-ngemis kayak gak ada harga dirinya kayak lo"

Tanpa disangka, Maura sejak tadi sudah mengepalkan tangannya menahan emosi. Tetapi, ia tidak bisa menahan emosi lalu ia melayangkan tangannya untuk menampar Zia.

Tetapi, hal itu tidak terjadi. Karena Zia lebih dulu menahan tangan Maura dengan cegat. "Kok emosi? Berarti bener dong lo gak punya harga diri? Lain kali pikir pake otak sebelum bicara, punya otakkan?"

Setelah itu, Zia melangkah pergi meninggalkan Maura yang terlihat marah, emosi dengan perkataan Zia tadi. Bisa-bisanya Zia berani bicara seperti itu kepadanya, dan baru pertama kali juga ada yang berani melawannya"

"Tunggu permainan gue Zia" ucap Maura tersenyum smirk.

****

Zia langsung merebahkan tubuhnya disofa sejenak untuk meringankan cape yang seharian ia jalanin. Serasa sudah cukup, ia bangkit dan berjalan menuju meja belajarnya.

Lalu ia mengambil foto yang ada didepannya, foto yang terdapat dirinya bersama Alva yang sedang memakai baju pertandingan sembari mengangkat piala keatas dengan senyum bahagia.

"Nggak kerasa kamu ninggalin aku 3tahun, rasanya hampa gak kamu. Hidup aku jadi sepi gak ada lagi yang jailin aku, manjain aku, marahin aku kalo aku telat makan, negurin aku, ajarin aku cara ngendarain motor yang benar seperti apa dan lain-lain. Rindu, ya aku rindu berat sama kamu Alva. Kalo boleh aku minta sama tuhan buat ketemu sama kamu dan meluk kamu dengan erat. Tapi, itu semua gak akan mungkin. Tapi gapapa aku tetep kiyowo supaya kamu juga bahagia liat aku dibumi, i love you and i miss you Alva Sebastian" ucap Zia tersenyum tipis sambil mengelus foto Alva.

Ceklek

Pintu terbuka mendapati Celine, lalu ia masuk dan menghampiri Zia. "Hei kamu kenapa sayang?" tanya Celine.

Zia yang sedang menghapus air matanya tersenyum, "Zia gapapa kok, ada apa mah?"

"Kamu pasti kangen Alva ya? Gapapa nangis aja jangan ditahan, kamu yang kuat dan harus nerima kepergian Alva. Alva udah tenang disana, kangen itu wajar sayang yang kuat ya sayang" ucap Celine mengelus punggung Zia memberi kekuatan dan ketenangan.

Zia langsung memeluk Celine dengan posisi duduk. Celine membiarkan Zia menangis dipelukannya, karena ia tahu bahwa Zia sedang menghadapi cobaan dan kerinduan yang berat kepada alm. Alva.

"Zia kangen sama Alva mah, Zia kangen..." tangis Zia pecah, ia tidak bisa menahan ini semua ia benar-benar rindu kepada Alva yang selalu ada buat dirinya ketika sedih.

"Iya sayang mamah tau, nanti sore kita kemakam ya jengukin Alva mau?"

Tanpa menjawab ia mengangguk dan ia masih menangis di pelukan Celine. Sungguh berat ia menjalani semuanya, ia masih tidak menyangka bahwa Alva meninggalkan dirinya secepat itu. Zia benar-benar merasa hampa tidak ada Alva disamping, karena Alva lah yang selalu mengerti keadaan dirinya dan selalu mengerti apa yang ia rasakan.

•••••

EDWARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang