Tok...tok...tok....ceklek!
Seorang remaja putri berusia 18 tahun menjulurkan setengah badannya ke dalam kamar. Seorang gadis yang lebih tua sedang ada di dalam, duduk di sofa dengan memangku laptopnya.
“Kak, pinjam mobil ya!” katanya.
Yang diajak bicara tidak mau repot-repot mengangkat mukanya.
“Kemana mobilmu? Jangan bilang di bengkel lagi!” selidiknya.
Adiknya meringis. “Mobil Devan masuk bengkel, jadi dia pinjam mobilku.”
Renata Chandrasari menghela nafas dalam. “Jovanka Angeliqe Pavel! Sudah berapa kali Kakak bilang padamu? Jangan mau dibodohi!” ujarnya tajam.
Gadis itu memejamkan matanya. Adiknya ini membuatnya geram. Dia menyayangi adiknya meskipun mereka berbeda ayah. Akhir-akhir ini gadis remaja itu berpacaran dengan teman sekolahnya dan kelihatannya pacarnya suka memanfaatkannya. Sebagai kakak ia tak suka dengan hal ini.
Renata menutup laptopnya dan menengok menatap adiknya yang masih berada di ambang pintu.
Dia menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya, memberi isyarat agar adiknya duduk di situ. Gadis remaja itu menurut.
“Selama kau tinggal di sini kau tanggung jawab kakak. Bunda menitipkanmu. Karena itu kau harus patuhi peraturan kakak. Jika tidak mau, ikutlah dengan bunda atau papamu,” katanya. Adiknya cemberut.
“Bukan kakak tak mengijinkanmu pacaran. Tapi Devan itu tidak baik untukmu! Lagipula sebentar lagi kau ujian. Kau harus mempersiapkan diri. Jangan main-main terus!” ceramahnya panjang lebar.
Jovanka memanyunkan bibirnya. Sejak pertama ia berpacaran dengan Devan, Renata tak pernah menyukai pacarnya. Devan seorang pemuda tampan. Banyak gadis tergila-gila padanya, tapi ia memilih Jovanka. Ia gadis beruntung bukan? Banyak yang menginginkan posisinya. Tapi kakaknya ini bahkan melirik pun tak mau jika Devan diajaknya ke rumah.
“Tapi kali ini penting Kak! Aku berjanji pada Melisa untuk menemaninya ke rumah sakit menjenguk ibunya,”rengek Jovanka berusaha membujuk.
Renata memandang adiknya. Ia tahu kadang-kadang adiknya ini menggunakan tipu muslihat agar bisa keluar bersama pacarnya.
Baru ia hendak berbicara, ponselnya berdering. Dari Kevandra, teman sekaligus bosnya di kantor.
“Halo Ndra,” sapanya.
“.......”
“Baiklah. Aku akan ke sana.”
Ia menutup teleponnya lalu kembali menatap adiknya.
“Kakak ada pekerjaan. Kau diam di rumah, belajar! Kalau nilaimu jelek, papamu akan menyalahkan kakak juga akhirnya,” titahnya.
Jovanka semakin cemberut. Kakaknya ini seorang sekretaris direktur tapi kesibukannya melebihi sang direktur sendiri. Hari ini hari Minggu, masa harus bekerja juga!
Gadis remaja itu memandang kakaknya yang sekarang sudah berganti pakaian dengan setelan formal, blus warna peach lengan panjang dipadu celana panjang bahan warna abu-abu dan blazer peach yang setingkat lebih tua dari blusnya. Rambutnya diikat sederhana dengan make up tipis. Tampilan sehari-hari kakaknya bila pergi bekerja.
“Kakak pergi dulu,” pamitnya.
Jovanka hanya mengangguk. Ia meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. “Aku tidak jadi pergi. Kakakku melarang.”
Meskipun kadangkala bandel, Jovanka patuh kepada kakaknya. Jika Renata melarangnya pergi, ia akan tetap tinggal di rumah. Ia tahu kakaknya sangat menyayanginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUKA
FanfictionSeumur hidupku, aku hanya mengenal luka. Luka karena tidak diinginkan, luka karena diabaikan. Luka pertama ditorehkan oleh orang terdekatku, ayah dan bundaku....