Ayam goreng Bunda

4.4K 439 190
                                    

Jean menyebut dirinya cukup beruntung sebab masih tidak terpikirkan untuk meninggalkan dunia ini walau semua orang pergi meninggalkan nya.

Jean menyebut dirinya cukup beruntung sebab masih bersedia mencoba berdiri dengan tegak di dunia yang berlaku kejam padanya.

Jean menyebut dirinya cukup beruntung masih memutuskan untuk mengambil langkah baru, memberanikan diri membuka lembaran baru walau hanya sekedar untuk mewujudkan mimpi orang-orang yang telah lama hilang dari peredaran hidupnya.

Kini ia duduk di depan di meja belajar nya, menatap layar komputer yang sebenarnya menyuguhkan kabar gembira, tetapi tidak merubah raut wajah datar-cenderung jutek?-itu, ia tetap tidak tampak bahagia.

Setelah hampir dua tahun bergumul dalam kekacauan, inilah langkah awal yang diambil Jean dalam upayanya melanjutkan hidup- kembali mutuskan untuk kembali bersekolah, mulai mengambil ujian penyetaraan SMA juga mengikuti ujian masuk kuliah- ya, yang terpampang dilayar komputer nya adalah pemberitahuan bahwa dirinya diterima di salah satu universitas negeri di jurusan ekonomi.

Jurusan yang sebenarnya tidak ia inginkan, melainkan jurusan yang Papa harapkan Jean bisa belajar tentang ilmu tersebut. Papa ingin putrinya mengerti tentang ekonomi dan bisnis sehingga bisa diberikan amanah melanjutkan usaha keluarga kelak.

Usaha yang dirintis ayahnya sejak masih duduk dibangku kuliah yang kini sedang sedang berkembang pesat ditangan orang kepercayaan sang ayah usai melewati drama perebutan kekuasaan yang berakhir dengan kepemilikan mutlak di tangan Jean.

Sejujur Jean memasang wajah datar bukan karena tidak senang, tetapi karena ia ketakutan. Gagasan kembali ke dunia luar benar-benar menyeramkan.

-Oh ya Tuhan.

.

"Jean Ayesha, selamat kamu diterima." hembusan nafas mengakhiri kalimatnya.

Jean meraih satu-satunya foto yang ia sisakan untuk di simpan di meja belajar nya. Foto itu berisikan gambar dirinya, adik laki-laki nya, Bunda dan Papa nya.

"Bun, aku harus seneng apa sedih sih?"

Gadis itu tentu tahu betul berapa kali pun ia bertanya pada benda mati itu tidak akan pernah mendapatkan sebuah jawaban. Namun Jean tetap melakukannya.

"Pa, ini jurusan yang Papa mau 'kan? Aku udah keterima, tapi kenapa Papa nggak ada. Nggak mau banget kasih selamat ke anak sendiri"

Jean kembali terdiam dengan pandangan mata yang tidak berpaling dari foto itu mulai terlihat buram karena pelupuk mata gadis itu perlahan menggenang air mata.

"Dek, kamu kok tega banget sih sama Kakak. Kalau orang nanya tuh jawab. Meski bukan ke kamu spesifik nanya, harusnya kamu tetep bantu jawab dong!"

Helaan nafas sekali lagi terdengar.

Tidak, tidak, Jean tidak ingin menangis lagi, ia sudah lelah menangis dan tidak ada yang berubah selain pening yang dirasa sesudahnya. Gadis itu menengadahkan kepalanya ke atas demi menghalau air mata yang hendak menetes.

Tepat saat matanya mengering, pintu kamar Jean terketuk. Seorang wanita paruh baya terlihat setelah nya.

"Neng, makan dulu yuk."

Senyum yang sedari tadi tidak nampak akhirnya mengembang. Jean segera bangkit dari kursi nya dan berjalan dengan senang menghampiri asisten rumah tangga yang sudah bersama dengan keluarga nya sedari Jean kecil.

Jean merangkul Mbok Ratih. "Aduh neng jangan peluk-peluk mbok, bau bawang nih "

"Nggak apa apa mbok, bau bawang itu menandakan kemakmuran"

Don't Touch My FoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang