Dimsum & batagor sebagai obat

586 135 24
                                    

Raka mengundurkan niatnya untuk menghancurkan pintu kantor direktur perusahaannya. Ia melangkah mundur membiarkan kedua temannya masuk ke dalam apartementnya.

Kean memilih duduk sementara Jean memungut sesuatu dilantai, ponsel Raka yang mati karena di banting.

"Pantes aku telpon nggak aktif, orang hapenya dibanting sampe mati."

Raka tertawa pelan. "Jadi lo beneran khawatir sama gue?"

"Iya, meski aku—"

"Ganti dulu deh, lo lupa?" Tukas Raka tidak tahan merasa menjadi kasar karena sebutan gadis itu padanya.

"Iya, meski gue!" Jean menekankan kalimat dibagian gue. "Merasa lega lo nggak masuk. Kelas berisik banget sama rumor nggak jelas"

Raka mengangguk pelan, ia sudah menduga bakal seperti itu.

"Perusahaan lo buka suara, gue yakin itu tanpa keputusan lo kan? jadi, lo nggak apa-apa?" Tanya Kean kini.

"Ya mau di tampikan kayak apa juga, gue nggak baik-baik aja. Itu lagu gue bikin susah-susah sama Kinan. Gimana gue nggak marah itu diklaim jadi milik orang"

Kean mengangguk sekilas, rupanya adeknya itu memang melakukan banyak hal di luar pengetahuannya. Ia jadi tahu kenapa tadi anak itu tiba-tiba mengirimkan video marah-marah.

"Kinan pasti sedih banget"

Kali ini Kean menggeleng, ia tidak setuju. "Dia nggak sedih, dia murka." lelaki itu menunjuk ponselnya yang berisi video Kinan marah-marah. "Kalau dia boleh keluar rumah sakit, bukan cuma hape yang jadi korban, bisa jadi benar-benar terjadi kehancuran disana-sini"

"Baru kali ini gue bersyukur Kinan nggak boleh keluar rumah sakit"

"Gue juga." sesaat semuanya berdiam, hingga Kean tersadar akan sesuatu. "Ka, jadi alasan lo lebih sering ngerjain lagu dirumah gue dari pada di studio itu—"

Raka seperti mengetahui kelanjutan ucapan Kean lantas mengangguk. "Iya, buat dapetin rasa. Vibes Kinan itu jelas banget di rumah, meski akhir-akhir ini dia lebih sering dirumah sakit. Gue tetep berasa lagi sama Kinan tiap kali di rumah lo, kayak dia ada, dia dampingin gue, itu yang bikin lagu gue berasa. Kalau sedih ya sedih, seneng ya seneng. Ya lo tau lah sejak Kinan drop beberapa bulan lalu dan harus tetep dirumah sakit gue nggak punya nyali gede buat kesana sendirian."

Sekali lagi Jean melihat sisi lain dari di Raka. Orang yang berbeda dari apa yang ditampilkan di TV dan dihadapan khalayak ramai. Raka yang perasa, Raka yang lembut, Raka yang ternyata berhati lembut. Teorinya tentang hidup seperti roti isi itu benar—tidak semua orang tahu'isi' kehidupan kita.

Melihat dimsum yang ada dihadapannya kini, Jean jadi ingat, Bunda pernah berkata kalau hidup kita juga mirip dengan dimsum ini.

Kata Bunda, makanan yang isinya juga sama tertutup kulit pangsit, tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana isinya sebelum coba ia makan. Setelah dimakan barulah ia tahu bahwa rupanya dalam balutan kulit pangsit yang cantik itu tidak semulus yang terlihat, terdapat banyak 'hambatan' untuk gigi menguyah dari sisa daging yang tidak terhaluskan sempurna.

Mirip seperti Raka—yang hidup nya terlihat mulus-mulus saja dengan memiliki pekerjaan yang sering di idam-idamkan orang karena terlihat menyenangkan dan dicintai banyak orang itu, mereka tidak pernah benar-benar tahu masalah besar apa yang bisa saja menimpanya.

"Gue boleh tanya hal sesuatu yang agak privasi?" Kali ini Jean yang berbicara.

Raka mengangguk enteng.

"Lo kenapa pengen jadi artis? Kalau pekerjaan ini bikin lo terluka kenapa nggak berhenti aja? Gue sering liat lo kena masalah dari sebelum kita saling kenal dulu dan itu bikin gue berfikir emang lo-nya yang bermasalah, tapi setelah tau ini pikiran gue berubah. Bisa jadi aja ternyata yang dulu-dulu itu di bikin-bikin kayak sekarang."

Don't Touch My FoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang