Parsel buah dan kue strawberry

711 158 45
                                    

Jean pernah memiliki kehidupan yang kata orang adalah kehidupan normal, memiliki ayah dan ibu, adik lelaki yang menggemaskan sekaligus menyebalkan dan sahabat yang selalu ada.

Namun Jean tidak pernah mengira bahwa takdir bisa semengenjutkan itu, merubah genre hidupnya yang awalnya hanya kisah family ringan menjadi thriller yang menyeramkan.

Ayah, ibu dan adik Jean meninggal dalam sebuah kecelakaan beruntun setelah satu sahabatnya dikabarkan bunuh diri dan sahabatnya yang lain kabur entah kemana rimbanya.

Tragis sekali bukan? Dan sayangnya Jean merasa semua kemalangan itu berawal dari dirinya.

Katakanlah semua memang berawal dari Jean yang terlambat mengangkat telpon sahabatnya, tetapi itu tidak lantas membuat Jean bersalah atas jalannya takdir mengerikan tersebut. Namun Jean tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa dirinya tidak bersalah bahkan saat polisi akhirnya membebaskan Jean setelah melakukan beberapa pertimbangan.

Suara-suara mbok Ratih yang tidak hentinya menguatkan Jean dihari-hari pasca kejadian menguap begitu saja, tidak ada yang menyentuh hati gadis pemilik mata sipit itu sebab suara-suara penghakiman lebih keras terdengar di telinga serta lebih menancap di hati Jean.

"Dasar anak pembawa sial! Ini semua karena ibumu juga pembawa sial!"

"Sudah dari awal aku bilang kan, jangan deketin anakku. Kamu bisa ganti nyawa dia sekarang?!"

"Jean, aku nggak nyangka ya kamu setega itu sama sahabat sendiri"

"Eh, eh liat tuh Jean, masih punya muka ya buat dateng ke sekolah bahkan setelah ngebunuh temen sama keluarganya"

"Lo jahat Jean, apa susahnya angkat telpon Nasya! Kalo lo angkat telpon dia semuanya ngga akan kayak gini"

"Neng bangun!" Jean tersentak seketika, nafasnya berderu seperti habis berlari, keringat membahasi seluruh wajah hingga rambut Jean.

Saat membuka mata, Jean langsung menangkap wajah khawatir mbok Ratih yang kini bersimpuh di sebelahnya sembari membetulkan anak rambut di wajah Jean.

"Ada apa, Neng?"

Dengan nafas yang masih berderu Jean berusaha keras untuk tersenyum demi menghilangkan kekhawatiran mbok Ratih. "Aku nggak apa-apa, Mbok"

"Neng mimpi buruk lagi ya?"

"Engga mbok, ini efek nonton film kemarin deh kayaknya" Jean berbohong, beruntung yang bisa mendeteksi kebohongannya hanya Kean.

"Oalah, kemarin katanya karena baca buku, kemarinya lagi karena kecapean sekarang karena nonton film. Mbok ya Neng kan lagi sakit, rebahan aja nggak usah pake nonton film di bawah atau baca-baca buku yang tebel-tebel itu. Jadi nggak sembuh-sembuh, Mbok khawatir banget liat neng Jean kayak gini terus dari kemarin."

Jean tersenyum dengan lebih berseri kali ini. "Maaf ya Mbok. Hari aku bakal diem aja, beneran."

"Ya ngga usah minta maaf juga." Mbok Ratih melihat jam weker di nakas dekat ranjang Jean. Waktu menunjukkan 09:30, nona mudanya itu sudah telat dua puluh menit dari jadwal mata kuliah pertamanya.

Jean ikut melihat jam tersebut, ia sadar tetap tidak akan bisa masuk kelas bahasa Inggris meski berangkat pun. "Mbok, sekaliii lagi Jean izin ya buat nggak kuliah."

Meski Jean sudah tidak masuk kuliah dua hari, namun kondisi Jean saat ini membuat Mbok Ratih segera menyetujui hal itu. "Ya udah neng istirahat lagi aja. Nanti mbok panggil kalau makanannya udah siap"

Jean mengangguk. Mbok Ratih beranjak, namun saat sudah sampai di ambang pintu ia berbalik. "Atau Neng mau sarapan pake roti dulu atau sereal."

"Engga deh Mbok, perutku agak kurang enak dari kemarin. Nanti aja makan nasi"

Don't Touch My FoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang