{36}

14 2 0
                                    

Author pov.

Sudah berapa hari ini. Rere merasa tubuhnya semakin lemah, kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang, detak jantungnya berpacu lebih cepat, perutnya mual dan terasa nyeri. Entah apa yang sedang terjadi dengan tubuhnya. Dia terlihat tersenyum dengan bibir yang terlihat pucat, mata yang sembab, rambut yang berantakan, pakaian yang lusuh, dan tubuh yang terlihat sangat kurus.

Rere segera mengambil ponselnya. Dia mulai terlihat sangat frustasi. Dia tidak mau merepotkan orang lain, meskipun dalam hatinya ingin sekali menyerah.

Tiba-tiba saja, tangannya sangat lincah. Sehingga, dia tidak menyadari bahwa kini jemarinya mengetikkan kata yang seharusnya dihindari oleh dirinya.

Detik berikutnya, dia tersadar dengan apa yang ia lakukan. Matanya melebar, saat membaca artikel. Tanda-tanda itu yang ia alami. Air matanya mulai menetes. Tanpa sadar ponselnya, terjatuh.

"ENGGAK, INI NGGAK BOLEH TERJADI!!"

Rere terus menggelengkan kepala, kepala yang tertunduk, air mata mengalir deras.

"Enggak ini nggak mungkin...."

Rere, memukul-mukul Perutnya. Dia terlihat sangat terpuruk. Baru beberapa bulan yang lalu Arini meninggal dan kini, ia harus mengalami hal yang seharusnya tidak ingin ia alami.

"Kamu nggak boleh hidup," racau Rere, sambil terus memukul perutnya.

"Bunda, apa yang Rere takutkan selama ini, terjadi juga. Sekarang Rere harus apa Bunda? Rere nggak tau harus apa? Kenapa bunda ninggalin Rere. Rere butuh bunda sekarang_ hiks...."

Rere terdiam sambil melihat ke arah sudut kamarnya. Air matanya tak berhenti mengalir. Tubuhnya sangat lemah. Ia belum siap menjadi seorang ibu. Belum siap mengurus anak. Dia juga masih menginginkan bersekolah. Bermain bersama teman-temannya. Dan menikmati masa remajanya.

Rere, mengembangkan senyumnya. Dia segera bersiap-siap untuk membeli sebuah tespek. Rere, melihat pantulan dirinya dari cermin. Seulas senyum terbit di bibirnya, ia mulai menyemangati dirinya sendiri.

"Semangat Rere. Rere nggak boleh nyerah. Kamu harus pastiin, bahwa ini nggak benar-benar terjadi."

Rere, berdiri di depan pintu kamarnya. Pandangannya menyapu ke segala arah. Dia terlihat tersenyum, melihat keadaan rumah yang terlihat sepi. Baru saja, Rere, akan melangkahkan kaki, suara Radit terdengar jelas di telinganya.

"MAU KEMANA KAMU?"

"Astaghfirullah, ayah. Bisa nggak, nanya-nya nggak usah teriak. Aku kaget, yah."

"Saya tanya, kamu mau kemana?"

"Mau keluar sebentar, yah. B-beli c-cem... milan, iya beli cemilan."

"Mau cari mati, kamu. Dunia sedang digemparkan dengan virus. Mau terinfeksi, kamu?"

"Nggak," ucap Rere sambil menggelengkan kepalanya.

"Yasudah jangan keluar."

"T-tapi, yah. Aku mau cemilan. Sebentar doang ko, Rere yakin nggak akan terinfeksi virus," kata Rere sungguh-sungguh.

"Terserah, jika terinfeksi saya tidak mau mengurus kamu."

"Iya, ayah. Makasih sudah mengizinkan Rere keluar."

_________________________________

Rere sampai di sebuah supermarket. Ia terlihat tersenyum pedih, melihat benda yang ia cari ada di hadapannya. Rere terlihat ragu untuk mengambilnya. Namun, detik berikutnya ia segera mengambil dan berjalan ke arah kasir.

Rere, Are You Okay? [End]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang