{11}

24 7 0
                                    

Langkah kaki ku semakin pelan ketika aku hendak melewati dapur. Suara piring pecah terdengar jelas di telingaku. Seketika bulu kuduk ku berdiri, perasaan ku tidak enak.

"Dari mana saja kamu?" Ucap seseorang dari belakang ku.

Aku berjalan saja, menghiraukan perkataan orang itu. Ya, itu adalah ibu tiri ku.

"Masih ingat rumah? Bukannya tidak mau menginjakkan kaki di rumah ini lagi?"

Aku bergegas menaiki tangga agar aku tidak bisa mendengar ucapan ibu tiri ku lagi.

"Dasar anak tidak tahu sopan santun. Rere jawab dulu pertanyaan mamah."

Brak....

Aku membanting pintu dengan keras. Memilih merebahkan tubuhku di atas kasur. Suara gemuruh petir menggelegar mulai terdengar, pertanda akan turun hujan. Aku masih setia merebahkan diri di kasur yang empuk. Samar-samar aku mendengar suara tetesan air yang mulai turun dengan sangat deras. Hujan yang selalu membawa ku menuju masalalu yang indah, mengharapkan agar dia kembali kepadaku.

Perlahan aku duduk sambil memandangi langit gelap menembus Jendela dan sampai pada kejauhan hingga terjatuh akan masalalu yang menyenangkan.

Kali ini tak terasa tetesan air mataku turun namun tak sederas langit yang meneteskan air hujan. Aku berusaha mengubur masa lalu yang indah. Sebenarnya aku masih mengharapkan agar dia kembali kepadaku, tapi sayang seribu sayang aku dan dia tidak akan bisa bersama karena dinding agama kami yang menjadi penghalang.

Ibarat air dan minyak yang tidak akan bersatu. Aku dan dia juga sama tidak bisa bersatu. Sejujurnya ini adalah yang terberat bagi diriku. Agama ku dan agamanya tidak bisa bersatu sama seperti minyak dan air. Mungkin mereka yang bisa melewatinya hingga ke jenjang pernikahan dan memilih untuk mengorbankan agama salah satunya, menurut ku mereka luar biasa. Seperti air dan minyak akan bersatu jika bercampur dengan sabun, pengorbanan agama juga akan menyatukan kita. Tapi bagi diriku pengorbanan agama dari salah satu di antara kami jujur berat buat di hadapi berdua, tapi jika itu yang terbaik ya lakukanlah. Namun aku tidak mau mengorbankan agama ku dan masuk agamanya. Karena ujungnya akan tetap sama menyembah Tuhan yang sebenarnya sama tapi dengan cara yang berbeda-beda. Aku tidak akan mengecewakan bunda dan ayah ku, tidak akan mengecewakan semua orang yang ada di sekeliling ku. Jika namaku dan namanya yang berdampingan di Lauhul Mahfudz, aku berharap Tuhan akan mempersatukan kita.

"Rere, buka pintunya mamah mau ngomong sama kamu," ucap tante Ani_ ibu tiri ku.

Seketika bayangan masa lalu itu hilang dari benakku. Dan aku mulai kembali sadar akan keadaan yang sebenarnya.

"Masuk aja, nggak di kunci juga."

"Re, kamu habis dari mana?"

"Rumah teman, kenapa mau marah! Silahkan."

"Ramadhan?"

"Ya, kenapa sih tumben nanya-nanya gitu?!"

"Jauhin dia," pinta tante Ani.

"Memangnya kenapa?"

"Mamah minta maaf sama kamu Re. Gara-gara mamah keluarga kamu jadi hancur, kebahagiaan kamu jadi berubah menjadi kesedihan. Tapi mamah berharap kamu bisa menghadapi masalah yang akan datang nantinya. Mamah tau mamah salah," jelas nya.

Aku tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Tante Ani sudah baik kepada ku, tapi kebencian itu belum menghilang dari hatiku. Haruskah aku senang atau sedih?

"Ada kue di meja makan, itu dari tante Diana ibunya Ramadhan buat tante."

"Iya, mamah akan makan kue nya. Kamu istirahat yang cukup, mamah pergi dulu," ucapnya sambil berlalu pergi meninggalkan kamar ku.

Rere, Are You Okay? [End]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang