Rere pov.
Di sebuah kamar yang terlihat berantakan, seseorang dengan air mata mengalir, sedang memegang sebuah alat tes kehamilan. Dua garis merah muda menandakan bahwa dia sedang mengandung seorang bayi. Masih tidak percaya akan apa yang sedang terjadi. Matanya beralih menatap perut, perut yang di dalamnya terdapat kehidupan lain.
"Arrggg...," terik gadis itu sambil membanting tespek, dan mengacak-acak rambutnya. Gadis itu yang tak lain dan tak bukan adalah Rere. Tentu saja Rere yang kita kenal.
Rere hanya bisa terdiam sambil membayangkan bila ada seekor sperma yang menjerit-jerit minta bertemu sel telur, di dalam perutnya. Dan itu mungkin saja terjadi beberapa bulan yang lalu. Akan tetapi dengan tak berdosa nya Rere menyuruh sel telurnya luruh sebelum waktunya. Melakukan berbagai macam cara agar sel telur di dalam rahimnya luruh, namun pada kenyataannya usaha yang telah Rere lakukan hanyalah sia-sia.
Kini Rere dengan keputusasaannya berdiri di atas kursi, dengan tali yang menggantung pada lehernya. Menggantung diri sendiri dengan tali tambang terdengar begitu mainstream. Namun, sialnya itu yang sedang Rere lakukan sekarang.
Rere hanya bisa memejamkan mata sambil sesekali membayangkan apa yang terjadi bila dirinya telah tiada. Mungkin saja mereka akan menangisi kepergian Rere. Mungkin juga, saat sudah dikuburkan selama tujuh hari, rambut Rere tetap wangi.
Rere akan segera pergi, ke tempat di mana Rere bisa mendapatkan segala kebutuhan yang bisa digunakan untuk mengakhiri apa yang tidak pernah Rere minta untuk dimulai.
Dengan hitungan mundur, Rere bersiap menendang kursi dan menggantung dirinya.
Tiga...Dua...
Satu...
Brak..., leher Rere tercekik oleh tali yang menggantung. Napas Rere mulai memberat, Rere membuka mulutnya, dan tiba-tiba dia merasa benar-benar akan pergi dari dunia ini. Bertemu dengan bunda dengan sang putri yang ada di dalam kandungannya. Lalu samar-samar Rere mendengar gedoran pintu sambil sesekali suara seseorang yang memanggil namanya terdengar, namun, itu hanya sayup-sayup."Teh Rere, kenapa?" ucap Becca yang terdengar sayup-sayup.
"Teteh, bertahan. Sebenar lagi, aku akan membuka pintunya," itu adalah kata-kata terakhir yang Rere dengar. Sebelum semuanya menjadi gelap gulita.
Inilah hari yang Rere nantikan. Hari di mana Rere akan pergi dan tidak akan pernah kembali. Hari di mana Rere akan ditemukan seseorang, diumumkan lewat pengeras suara masjid, dan gerombolan orang berbondong-bondong memasuki rumah Rere. Mungkin, mereka akan berkata, 'Sabar, ya!' kepada Radit dan Ani.
________________________________
"Ibu... anak ibu sekarang dalam keadaan kritis. Untunglah ibu dan kakak segera menelfon pihak rumah sakit, jadi ibu dan janin bisa segera kami selamatkan. Namun ada satu hal yang harus saya bicarakan kepada ibu, pasien mengidap tumor pada rahim yang sekarang sudah menjalar pada sel telur." Itulah yang dokter ucapkan kepada Ani.
"Apa Dok, tumor?" tanya Ani syok mendengar ucapan sang Dokter.
"Apakah itu membahayakan kakak saya Dok?"
"Iya... Pasien bisa mengidap kanker jika tumor ganas tidak segera dilakukan tindakan operasi. Tapi saya mohon maaf, jika pasien melakukan tindakan operasi rahim, dan janin terpaksa kami angkat," jelas sang Dokter.
"Bisa tunggu sebentar, Dok. Saya ingin meminta persetujuan suami saya."
"Baik... jika ibu sudah mengambil keputusan, silahkan tanda tangan di sini dan serahkan pada suster yang menjaga pada ruang ini. Terimakasih, saya permisi sebentar Bu, ka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rere, Are You Okay? [End]✅
Romance'Mintalah aku pada Tuhan mu begitu pula aku meminta kamu pada Tuhan ku' Bintang. Perbedaan bukan menjadi alasan Untuk sebuah hubungan. Saat dua hati saling mencintai, Namun justru tuhan tidak merestui. Kadang cinta harus mengalah saat cinta membawa...