{05}

67 19 3
                                    

'Kamu boleh menyukai, boleh juga mencintai, tapi jangan berharap
untuk memiliki'
~Nathaniel Gilbert Ramdhan


________________

Aku berjalan menuruni tangga, dengan dress biru muda, sepatu berwarna putih, rambut tergerai bebas, make up tips dan Sling bag berwarna senada dengan sepatu. Aku melihat ayahku baru pulang kerja, dia terlihat sedang mengobrol dengan seseorang. Aku menghiraukannya, memilih meminta izin dan menunggu Ramadhan di teras rumah.

"Ayah__"

"Ini anaknya sudah datang, kalau begitu om permisi dulu. Jangan lupa bawa pulang anak saya, tepat pukul 22.00," ucap ayah sambil berlalu pergi meninggalkan ruang tamu.

Aku menautkan kedua alisku. Melihat seseorang duduk sambil memandangi ku dari bawah hingga atas tanpa sepatah katapun. Aku memutar bola mata, malas. memilih keluar rumah tanpa mengucapkan kata-kata.

Udara malam sangat sejuk, kaki-kaki ku sudah lumayan cape. Sejak halte bus dekat sekolah hingga taman aku berjalan kaki, mungkin efeknya jadi pegal-pegal.

"Mau jalan sekarang tuan putri," suara itu berasal dari belakang tubuh ku. Aku bergidik ngeri mendengar ucapannya.

Aku diam, pikiran ku kacau, hati ku gelisah. Menghela nafas lalu mendongakkan kepala. Memilih diam beberapa detik lalu membuka suara.

"Kenapa sih lo baru nyadar sekarang, kemarin pas kita masih pacaran kemana aja? Pas gue minta jemput saat bus nggak ada, lo kemana? Kenapa lo nggak pernah ngajak gue jalan? Kenapa saat gue susah yang datang itu malah orang lain. Ramadhan, Arief kenapa malah mereka yang ada di sisi gue, bukan lo? Dan sekarang saat kita udah nggak ada hubungan apa-apa, lo ngajak gue jalan layaknya seorang pacar. Gue capek sama sikap lo. Kemaren lo bawa gue masuk gereja dan nyuruh gue pindah agama. Plis gue mohon sama lo, jangan kayak gini. Jangan bikin gue makin susah buat ngelupain lo," ucap ku lirih, sambil melihat gelap nya malam. Lega rasanya, saat semuanya terucap dan menceritakan semuanya kepada teman, ralat bukan teman tapi orang yang menyakiti kita 'mantan.'

Semilir angin mulai brhembusan, burung-burung hinggap di batang pohon dekat rumah. Aku menatap langit-langit rumah, seolah enggan menatap Bintang.

"Maaf, tapi gue nggak bisa jauh dari lo."

"Tapi gue nggak bisa sama lo terus karena kita beda Bintang."

"Apanya yang beda hm?"

"Huf, kita beda keyakinan Bintang," ucapku dengan suara selembut mungkin, berharap agar laki-laki di samping ku mengerti apa yang aku ucapkan.

Kedua tangannya bergerak menyentuh pipiku. Aku hanya diam, membiarkan dia melakukan apa yang dia mau. "Mintalah aku pada Tuhan mu begitu pula aku meminta kamu pada Tuhan ku."

Aku dibuat bungkam dengan ucapannya. Dia yang selalu memaksa aku berpindah keyakinan, kini mempunyai kata-kata yang begitu bermakna bagi cintaku. Secarik harapan kembali kepadanya mulai timbul di hatiku.

"Kita buka lembaran baru. Memulai semuanya dari awal," lanjutnya.

"Sorry. Untuk saat ini, gue belum bisa kembali pada hubungan yang sama."

"Re, kita bisa memulai semuanya dari kata teman."

Aku bingung harus berkata apa lagi. Hawa dingin mulai menusuk kulitku. Berdiri di teras rumah, ditemani oleh sang mantan yang akan menjadi seorang teman, rasanya aneh. Kembali kepada orang yang sama, seperti membaca buku berulang kali. Bosan, menyakitkan, namun aku suka dengan cerita dalam buku itu walaupun ending nya sad.

"Are you okay?"

"I'm okay."

"Jadi, mau jalan sekarang teman?"

Rere, Are You Okay? [End]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang