"Nanti kita ketemu lagi, ya?"
•••
Tadi siang Kalan dan teman-temannya sudah kembali ke Jakarta. Tanpa membawa Alkina, karena selama Yeneng belum ketemu dengan keluarga Kalan, ia tidak ingin melepas anak semata wayangnya pada orang lain.
Kini Kalan duduk di meja makan sambil memainkan gamenya, tak menghiraukan Nora yang sedari tadi berlari ke sana kembali karena takut terkena minyak panas.
"Lo ngapain sih?" kesal Kalan saat melihat Nora beberapa kali bersembunyi di belakangnya.
"Minyak panas,"
Kalan menghela nafasnya sebelum menyimpan smartphonenya lalu berjalan santai menuju kompor dan mematikannya.
"Tadah! Udah nggak ada minyak panas," Nora menghentakkan kakinya kesal sambil berjalan menuju Kalan lalu mencubiti pinggang sang adik dengan keras.
"Kalau gitu, kapan selesainya?!" pekik Nora sebelum melipat tangannya di depan dada.
"Lo sih! Sok-sok an pengen masak, gue aduin ke Baba tau rasa lo!" ancam Kalan sebelum kembali mendudukkan bokongnya. Mengacuhkan Nora yang sedang sibuk menggerutu akan kelakuan sang adik.
"Nona, maaf, tuan Ilker sudah ada di depan," mendengar ucapan salah satu pelayan di rumahnya sontak membuat Nora langsung melempar spatula yang tadi berada di tangannya lalu berjalan mendekati Kalan yang ikut berdiri.
"Jangan laporin gue, plis," mohon Nora dengan mata yang sudah berkaca-kaca, ia tidak siap jika harus mendengar omelan Ilker satu minggu kedepan hanya karena persoalan memasak ini.
Kalan hanya mencibir sebelum melangkah menuju ruang tamu, untuk membicarakan tentang permintaan Yeneng.
"Baba, papanya Alkina udah setuju, tinggal datang melamar aja," ucap Kalan sambil duduk di samping sang Buna dan memeluk perut wanita itu.
Ilker menatap anaknya dengan tatapan tajam. Tidak ada sambutan? Padahal ia baru saja pulang dari perjalanan bisnis yang cukup melelahkan.
"Hm, terserah,"
"Ish! Anaknya mau nikah kok digituin sih, Ba!"
"Alkina nggak terpaksa nerima kamu, kan? Takutnya dia terpaksa nikah sama berandalan nggak jelas kayak kamu,"
"Gimana nggak kepaksa, udah hamil," ucap Umayma sambil memperhatikan wajahnya di cermin.
"Nanti kalau cucu aku lahir, aku nggak mau dipanggil Nenek atau oma, maunya Mama,"
"Terlalu muda untuk jadi Nenek soalnya," lanjut Umayma yang membuat Kalan dan Ilker menatapnya dengan tatapan aneh.
"Soal lamar melamar, setelah ujian atau sebelum?"
"Besok aja, Ba,"
Ilker mengusap wajahnya frustasi, berurusan dengan keinginan Kalan adalah sesuatu hal yang sangat menguras tenaga. Jika ia tidak menuruti permintaan anak bungsunya itu, pasti akan terjadi drama baru di rumah, apalagi pada sang istri yang akan terus mendukung sang anak.
"Nggak sekalian hari ini aja?" sindir Ilker yang membuat Kalan mengangguk setuju dengan santai.
"Boleh,"
"Terserah, Baba cuman ikut Buna aja,"
"Besok aja, aku mau beliin beberapa barang dulu buat Alkina. Toh kita ke Bandung pake mobil pribadi,"
Kalan hanya mengangguk sebelum berdiri dan melangkah menuju kamarnya.
Menghubungi Alkina yang sepertinya enggan mengangkat telepon darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive Husband
RomanceAlkina mendekati gerombolan anak yang sedang bersantai di rooftop sekolah. Tentu saja kedatangan Alkina sukses mencuri perhatian. "Kalan?" Kalan membuang rokoknya setelah mendengar sapaan dari gadis yang selama ini sudah ia klaim sebagai kekasihnya...