Dia berbeda.
•••
Alkina memejamkan matanya setelah menyelesaikan acara mual di pagi hari yang sudah ia alami beberapa hari belakangan ini.
Hubungannya dengan Kalan memang sedikit membaik, namun lelaki itu masih terus menekankan bahwa ia tidak ingin berhubungan jarak jauh.
Alkina mengusap sudut matanya. Lelah? Tentu saja, ia bahkan sudah dua hari tidak masuk sekolah karena keadaannya, padahal satu minggu lagi ia akan ujian akhir yang menentukan kelulusannya.
"Kina?" panggilan dan ketukan pintu membuat Alkina membuka matanya sebelum meringis merasakan tubuhnya yang terasa lelah entah karena apa.
"Papa?" sapanya setelah membuka pintu kamarnya.
"Anak Papa yang cantik ini masih sakit, ya? Mau ke dokter sekarang?"
Alkina menggeleng, "Gak mau," jawabnya dengan mata yang kembali berkaca-kaca.
"Eh eh jangan nangis atuh, sarapan dulu, sentar Papa beliin obat di apotek," ucap Yeneng sebelum menggandeng tangan anak gadisnya itu.
Alkina berjalan dengan malas menuju ruang makan di apartemen sederhana yang menjadi tempat tinggal sementara sebelum mereka pindah ke Bandung.
Yeneng terus saja melirik ke arah anaknya itu, sebelum berdehem pelan.
"Kina punya pacar?" pertanyaan Yeneng membuat Alkina yang sedang mengaduk pelan nasi gorengnya seketika berhenti.
Alkina mendonggak, "Kayaknya udah putus," jawabnya pelan sebelum kembali mengaduk makanannya.
"Alkina masih ingat nasehat Papa, kan? Nggak boleh nggak pake baju di depan laki-laki?"
Alkina terdiam cukup lama, sebelum mengusap air mata yang tiba-tiba menetes. Ia ingat, namun melanggarnya.
"Kina nggak lapar," ucap Alkina sebelum berdiri dan melangkah menjauh dari Yeneng yang masih setia menatap kepergiannya.
Alkina mengunci pintu kamarnya sebelum terduduk lemas mendengar pertanyaan sang Papa.
Alkina memegang dadanya, ada rasa kecewa sekaligus sedih saat mendengar pertanyaan lelaki paruh baya itu.
Tak lama kemudian Alkina kembali mual dan segera berlari menuju kamar mandi. Alkina mengusap wajah pucatnya. Mengamati wajahnya di depan cermin, mata yang mulai menghitam, dan bibirnya yang pucat dan pecah-pecah, ia membasuh wajahnya dengan cepat setelah mendengar ketukan di pintu kamarnya. Dengan langkah gontai ia melangkah ke pintu.
"Maaf, Papa cuman mau kasi ini," ucap Yeneng sambil menyodorkan satu kantong berwarna putih sambil tersenyum.
Alkina tidak berani menatap mata sang Papa, namun Yeneng menahan daun pintu saat Alkina ingin menutupnya.
"Papa selalu ada di sini. Cuman Papa yang tau semua tentang Kina, Kina anak yang baik. Tidak peduli apa pun kesalahan Kina, biar pun seluruh dunia ngehujat dan benci Kina. Papa selalu ada untuk Kina," ucap Yeneng sambil mengelus puncak kepala Alkina yang sedang menunduk.
"Kalau Kina mau, kita bisa percepat kepindahan kita, semua keputusan ada di Kina," lanjutnya sebelum menutup pintu meninggalkan Alkina yang kembali terisak pelan. Kenapa lelaki paruh baya itu sangat mencintainya? Anak yang notabene tidak memiliki hubungan darah, namun dianggap sebagai dunianya. Alkina tidak ingin mengecewakan Yeneng, ini diluar dari ekspektasinya.
Alkina mendudukkan tubuhnya di atas ranjang sebelum membuka dan melihat isi kantong tersebut. Beberapa vitamin dan empat dos kecil persegi panjang berwarna biru putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive Husband
RomanceAlkina mendekati gerombolan anak yang sedang bersantai di rooftop sekolah. Tentu saja kedatangan Alkina sukses mencuri perhatian. "Kalan?" Kalan membuang rokoknya setelah mendengar sapaan dari gadis yang selama ini sudah ia klaim sebagai kekasihnya...