20

81K 6.7K 823
                                    

"Kamu tau nggak tempat jual boneka deket sini?"

•••

Setelah sampai di rumah, Alkina dan Alian bergegas masuk dengan tangan Alian yang memegang dua kantong berisikan tujuh teh yang berada di dalam plastik.

Dengan pelan, Alkina masuk lalu menatap bingung saat tidak mendapati siapa pun berada di ruang tamu.

"Mereka udah pulang?"

Alian menggeleng. Tidak mungkin dia ditinggal di sini, kan? Pasti temannya berada di suatu tempat. Mungkin kolom meja?

Namun suara tawa dari arah taman samping membuat Alkina segera melangkahkan kakinya ke sana. Betapa bingungnya wanita itu saat melihat wajah pasrah Kalan dengan beberapa bedak yang menghiasi wajah tampannya.

"Udah pulang, nak?" tanya Yeneng saat menyadari keberadaan Alkina dan Alian. Ke empat lelaki lainnya ikut menoleh ke arah Alkina yang mengangguk.

"Papa main catur," ucap Yeneng sambil tersenyum.

"Pacar kamu lemah! Masa main catur aja nggak bisa,"

Alian tertawa keras sebelum berjalan menghampiri Kalan.

"Kalan emang nggak pinter main catur, om," bela Alian setelah duduk bersilang di sambil ketiga temannya yang nampak serius dengan perlombaan catur itu.

"Enak aja!" ucap Kalan, sebelum meneriakkan kata 'skak mat!'

Sontak ketiga temannya yang sedari tadi menjadi penonton berteriak senang.

"Jadi nikah! Jadi nikah! Jadi nikah!" ucap mereka kompak sambil bertos ria, lalu tersenyum dan memeluk Kalan. Yeneng yang melihat kelakuan teman-teman dari calon menantunya pun hanya bisa tertawa.

"Kalan, kamu ikut saya sebentar," Kalan berdiri, mengikuti Yeneng yang berjalan entah ke mana, saat melewati Alkina, Kalan meremas pelan tangan kecil sang kekasih tanpa senyum.

Alkina menoleh saat lelaki itu sudah menghilang di balik pintu tempat privat milik sang Papa.

"Kalan?"

Kalan mengangguk.

Bugh

"Ini untuk kamu yang menghamili anak saya,"

Bugh

"Ini untuk kamu yang tidak selalu ada untuk anak saya,"

Bugh

"Ini untuk kamu yang berani-beraninya mau ngambil anak saya,"

Kalan yang memang terbiasa dengan hal-hal seperti ini hanya terdiam, menerima pukulan yang dilayangkan Yeneng pada dada dan perutnya.

Satu yang dibingungkan Kalan, kenapa sasaran Yeneng selalu di dada dan perutnya? Kenapa bukan di wajahnya saja?

"Saya tidak melukai wajahmu, karena saya tidak ingin anak saya sedih."

"Terima kasih," Yeneng menoleh saat mendengar ucapan Kalan.

"Terima kasih karena sudah mengasuh Alkina dengan baik,"

"Biarkan sekarang saya yang mengambil tanggung jawab tersebut. Membahagiakan Alkina dengan kelebihan saya, dan menjadikan Alkina pelengkap dari kekurangan saya,"

Yeneng mengusap wajahnya. "Maaf sudah menampar kamu, semua keputusan ada pada Alkina,"

Kalan mengangguk sebelum melangkah keluar dari ruangan tersebut.

"Kenapa?" Alkina menatap Kalan yang tersenyum padanya.

"Lo mau ikut pulang, kan?"

Alkina menggeleng. "Alkina nggak mau kalau Papa nggak mau,"

Possessive HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang