06

90.4K 7.8K 84
                                        

"Pulang. Papa pengen bicara sama Mama,"

•••

Siang ini, keadaan kediaman milik seorang pilot ternama di Indonesia sedang jauh dari kata hangat. Hanya ada sorot tajam dari kedua paruh baya, sedangkan seorang gadis hanya menunduk diam sambil menggenggam tangan sang Papa.

"Papa udah nggak tau harus ngomong apa sama Mama. Ini udah kelewatan,"

"Kelewatan apa sih, Pah!"

"Kina anak saya. Sah secara agama,"

"Pah! Dari awal Mama nggak setuju, kan? Jangan salahin Mama dong!" teriak Dea sambil melipat tangannya di depan dada.

"Udah seharusnya dia ngerasain itu, pertama! Dia bukan anak kandung kita, nggak ada hubungan darah, kedua! Dia itu hidup nyusahin, ngeluarin biaya besar. Untung-untung Mama kasi makan, dan kasi tempat tinggal,"

"Mah?!" bentak Yeneng sambil berdiri dari duduknya. Mendengar nada bentakan dari sang suami membuat Dea ikut geram.

"Papa ngebentak Mama cuman karena Alkina?!"

"Alkina anak kita, Mah,"

"Saya nggak punya anak! Dari awal saya udah bilang kayak gini?!" teriak Dea keras sebelum melangkah pergi meninggalkan Alkina yang terisak pelan.

Yeneng hanya menatap kepergian sang istri dengan keadaan menahan emosi. Ia memutar tubuhnya lalu duduk di depan anak gadisnya itu.

"Anak Papa yang cantik nggak boleh nangis. Papa minta maaf ya, sayang? Papa salah, Papa bodoh, Papa nggak tau apa yang terjadi sama anak Papa," Alkina menggeleng, dan berusaha tersenyum.

"Papa nggak salah, yang diucapin Mama memang bener. Nggak seharusnya Papa ngambil Alkina dulu, Alkina cuman bisa jadi beban Papa,"

Yeneng menghapus air mata yang menghiasi pipi sang anak. "Kina nyesel udah jadi anak Papa?"

Mendengar ucapan Yeneng sontak membuat Alkina menggeleng. "Hal terindah di hidup Alkina, adalah bisa panggil Papa dengan sebutan Papa,"

Yeneng mengangguk, "Bener, Papa juga bahagia punya Kina. Jangan Dengerin omongan Mama. Mama mungkin cuman emosi. Papa ngobrol sama Mama dulu,"

Saat Yeneng berdiri dari duduknya, Alkina menarik pelan tangan sang Papa lalu menggeleng. "Jangan marahin, Mama,"

Yeneng mengusap puncak kepala Alkina sebelum melangkah menjauh menyusul sang istri, sedangkan Alkina masuk ke dalam kamarnya.

Alkina membuka smartphonenya, dan benar saja banyak panggilan dari Kalan yang menghiasi layar utama benda pipih itu.

Dengan cepat Alkina membuka room chat, lalu segera mengetik pesan untuk sang kekasih.

Kalan

Kalan maaf, aku tadi jemput papa di bandara

Setelah menunggu beberapa menit, Alkina belum juga mendapat balasan dari sang kekasih.

Alkina melirik ke arah jendela. Hujan sudah kembali membasahi bumi. Membuat Alkina kembali mengingat tentang kehidupannya jika tidak ada Yeneng di rumah. Bagaimana ia harus mencari uang sendiri untuk sekolah, bahkan untuk membeli buku sekolahnya saja berasal dari gaji yang ia dapat selama bekerja.

Hingga suara pintu yang dibanting keras, menyadarkan Alkina dari lamunannya.

"Gara-gara kamu suami saya sita seluruh kartu ATM saya?!" teriak Dea yang membuat Alkina terkejut, bahkan wanita itu membawa koper besar di sampingnya.

Possessive HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang